Paling sebel nonton TVÂ show (acara televisi), terus yang diundang adalah sosok yang sedang bermasalah. Halooo... tidak ada orang lainkah yang lebih baik dari dia?
Perasaan sebal seperti ini pasti ada di antara kita. Mengatasinya, langsung saja ganti kanal lain yang lebih menarik.
Langkah ini adalah salah satu cara praktis untuk memboikot seseorang yang dianggap 'bermasalah' tadi. Tak selayaknya pihak stasiun TV, PH (production house, rumah produksi) membuat acara yang malah memberikannya panggung kehormatan.
Aksi boikot semacam ini pada dekade terakhir ini disebut dengan "Cancel Culture". Cancel alias batal tampil karena hasil adanya gerakan massa, kekuatan kolektif. Pengaruh suara publik yang masif hingga akhirnya mendapatkan tanggapan dari pihak-pihak yang terkait.
Cancel Culture sendiri kebanyakan dilakukan pada seorang selebriti (artis). Tidak menutup kemungkinan pada pesohor atau profesi lainnya.Â
Kasus terbaru adalah penolakan warganet untuk tampilnya kembali Saipul Jamil setelah bebas dari penjara atas kasus pelecehan seksual (pencabulan) dan penyuapan kasus. Ia dianggap tak layak untuk tampil kembali di acara TV.
Aksi galang tanda tangan lewat change.org ini sudah mampu menghasilkan 536 ribu lebih tanda tangan online hingga hari Minggu (12/9) ini.Â
Baru dua hari lalu (10/9), setelah seminggu dimulainya aksi galang dukungan ini, pihak yang disasar (Komisi Penyiaran IndonesiaI) akhirnya memberikan respon.
Positif atau Negatif
Budaya 'kritis' yang dimiliki seseorang pada dasarnya baik karena untuk tujuan yang juga baik. Pun demikian halnya melakukan kritisi pada seseorang, terutama karena perannya yang memiliki pengaruh besar terhadap banyak orang, terutama pengikut, fans, penggemar.Â
Ada ide atau perilakunya yang menyimpang dan berbahaya, sehingga itu harus dihentikan supaya tidak membawa dampak yang lebih buruk dan lebih luas.
Namun demikian, yang perlu juga dihindari jika Cancel Culture ini dilakukan secara membabi buta. Menutup ruang gerak dan menghindari adanya ruang percakapan yang sehat agar si orang yang di-boikot tadi bisa belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dengan kata lain, tak ada kesempatan kedua.
Bisa jadi "cancel culture" menjadi "cancelling people", atau sebuah pembunuhan karakter. Maka supaya tidak terjadi salah arti, perlu pemahaman yang sama bahwa yang dikritisi adalah bentuk-bentuk "ketidakbenaran" yang sedang terjadi. Bukan untuk mempermalukan seseorang dan menghukumnya secara berlebihan. Â
Cancel Culture muncul dan diperlukan, misalnya sekarang yang lagi trend adalah ketika korban pelecehan seksual dan seksisme tidak lagi mau menyimpan rahasia itu. Ia berani mengutarakan permasalahannya agar si pelakunya bisa mendapatkan hukuman yang setimpal.
Fungsi sosialnya adalah terciptanya kondisi perubahan baru yang lebih beradab. Namun memang efeknya jika menyangkut ke nama seseorang (apalagi jika ia seorang publik figur), orang bisa terbelah sikapnya.
Media Alternatif
Bisa dikatakan, di era teknologi seperti sekarang ini, media sosial menjadi salah satu cara bagi seseorang atau sekelompok orang untuk menyuarakan pendapatnya.Â
Tidak lagi harus datang ke parlemen menemui wakil rakyat. Tidak harus juga beropini secara tertulis di media massa atau berkata-kata lewat stasiun radio. Tidak harus bisa tampil di media televisi yang sudah beroperasi secara nasional atau lokal.
Media sosial jenis apapun baik yang berisikan lisan, gambar, video bisa menjadi sarana penyampai pesan. Terutama bagi mereka yang aware, peka terhadap masalah sosial yang sedang terjadi.Â
Entah itu aktivis atau bukan, media sosial punya dampak baik sebagai salah satu corong menyampaikan ide dan opini mereka.
Cancel Culture kini nampaknya sudah menjadi tradisi atau semacam budaya baru dalam kehidupan bermedia sosial. Apakah ini hanya sesaat dan apakah bisa berlanjut ke depannya? Belum tahu juga.Â
Sama dengan pertanyaan, apakah hal ini bisa dipertahankan atau tidak jika melihat hasil akhir yang diharapkan.
Namun yang jelas, cancel culture juga perlu untuk melihat konteks perkara yang sedang terjadi. Ia bisa menjadi alat perubahan yang positif jika niat dan tujuannya beralasan.Â
Misalnya aksi ini ditujukan kepada korporasi agar tidak melakukan diskriminasi atau perbaikan layanan jasa yang diberikan kepada konsumennya.
Namun kepada seseorang, perlu juga memberikan porsi yang juga tepat atau seimbang. Dilihat track record-nya, apakah ada perubahan yang lebih baik ataukah memang dasarnya bandel. Menentukan seseorang perlu dan pantas di-"cancel" atau tidak, bisa berpulang kembali kepada standar moral dan nilai-nilai personal yang kita anut. Â Â
Langkah Praktis
Tivinya bandel hanya sekadar cari fulus dan sensasi. PH-nya sama, cuma cari job dan pansos (aji mumpung). Begitupun sponsor iklan yang cuma cari keuntungan saja.Â
Ya, sudah... blacklist saja, ganti channel atau matikan sekalian tivinya. Baca berita lewat hape, lewati saja, tak usah di-klik.
Langkah-langkah yang sekiranya cukup simpel. Beres dan tak ribet. Juga menghindari timbulnya rasa sakit hati sendiri. Mau dukung petisi online juga boleh.Â
Apa lagi yang bisa dilakukan oleh penonton atau pembaca awam yang hanya sebagai penikmat yang tak punya kuasa mutlak untuk memberikan bahan edukasi yang baik kepada khalayak?
Cancel Culture ala warganet yang sederhana. Mau mencoba atau ada saran yang lain?
12 September 2021
Hendra Setiawan
*) Artikel Utama: Â Childfree, Pilihan Bebas yang Tak Bebas Nilai | Haus Tak Hilang Walaupun Sudah Minum, Waspada Dehidrasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI