Lagi, soal kasus perundungan dan pelecehan seksual yang terjadi di KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menghangat di berita di media arus utama. Bukan lagi soal gugatan balik dari 2 di antara 5 orang karyawan yang namanya disebutkan oleh korban. Polisi sementara ini telah menolak laporan yang diajukan lewat kuasa hukumnya.
Kabar terbaru adalah soal "intimidasi" kepada saksi pelapor di lembaga tempatnya bekerja. Konon, pertemuan dengan tim investigasi internal dan terduga pelaku ditengarai untuk membersihkan nama kelembagaan.Â
Pasalnya di sana sudah tersedia "surat perdamaian" dan si korban disuruh tanda tangan. Salah satu poinnya adalah pengakuan bahwa tidak pernah terjadi peristiwa seperti yang dituduhkan oleh si pelapor (korban).
Miris banget  jika membaca dan mengikuti rentetan kisah ini. Jadi korban, laporan kurang mendapat respon baik. Begitu viral, diancam tuntutan balik demi pemulihan nama baik.
Aturan hukum tentang perlindungan terhadap seseorang yang menjadi saksi dan/atau korban secara khusus diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari UU ini ialah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
Pemberian perlindungan ini menjadi hal penting guna menguak atau mengungkapkan fakta sebenarnya, yang dalilnya nanti akan dipaparkan melalui persidangan. Adanya intimidasi, tekanan, yang bisa membuat seseorang menjadi takut dan akhirnya mundur, tentu tak diharapkan.
Persoalan yang menimpa oleh salah satu karyawan KPI Pusat hanyalah salah satu dari sekian banyak kejadian yang terjadi. Lebih banyak kasus yang tenggelam. Orang yang menjadi korban 'malas' membawanya ke ranah pengadilan. Belum tentu menang, tapi rasa takut dan malu sudah menimpanya.
Mendiamkan kejahatan, tentu bukan pilihan yang baik dan bijak. Sebab dengan begitu, kasus-kasus serupa akan terus terjadi. Bak "lingkaran setan", ia akan terus berputar. Ada di lain waktu atau di banyak tempat.
Belajar Adil dan Bertanggung Jawab
Sebuah pelajaran dari peristiwa ini adalah bagaimana sebenarnya kita (keluarga) bisa memberikan pelajaran yang tepat mengenai rasa adil dan bertanggung jawab. Saya jadi teringat soal 'kebiasaan' yang kerap terjadi di sekitar kita. Entah mengalami sendiri atau dari pengamatan. Misalnya begini.
Pada suatu ketika di rumah. Keadaan yang semula tenang, tiba-tiba terjadi pertengkaran kecil antara Kakak dan Adik.
Ortu   :  "Apa ini ribut-ribut?! Sudah, berhenti mainnya. Kakak! Adik!"
Adik   :  "Kamu ini, Kak... (sambil marah dan menangis)"
Ortu   :  "Sudahlah, Kak, kasih mainannya ke Adik. Kakak kan sudah besar, ngalah sedikit sama Adiknya."
Kakak  :  "Tapi aku lho gak salah. Aku tadi diam. Adik yang duluan (cari masalah). Adik kan sudah punya mainan sendiri. Punyaku diambil, terus rusak".
Ada yang bisa membuat narasi lebih bagus, hehe... Â Inti ceritanya kalau berada pada posisi orang tua, menginginkan agar kedua anak jangan ribut. Kalau ada masalah, kakak disuruh untuk mengalah saja. Biar gampang, karena adiknya yang lebih kecil belum bisa berpikir yang lebih baik ketimbang si kakak.
Dari sudut pandang si Kakak, ia merasakan ketidakadilan. Ia merasa di pihak yang benar, namun ia justru yang dipersalahkan. Pembelaan dirinya seperti angin lalu, tak dianggap orang tuanya. Si Adik yang punya peranan untuk memulai kegaduhan justru mendapatkan pembelaan.
Dari sudut pandang si Adik, ya tentu senang-senang saja. Ia seperti di atas angin. Faktor ke-muda-annya memberikan "previlege" bahwa ia bisa melakukan apa saja. Toh, nanti yang dipersalahkan bukan dirinya, tapi kakaknya.
Hal yang dianggap baik oleh orang tua berbeda dengan anggapan si anak. Coba bayangkan peristiwa ini akan terus membekas hingga dewasa. Orang yang punya potensi menjadi si Adik akan merasa superior. Meskipun dalam suatu perkara ia bersalah, tapi ia akan berupaya menekan 'lawan' perkara agar menyerah saja.
Memang mungkin ekstrim membandingkan kasus di KPI Pusat tersebut dengan kasus Kakak-Adik seperti ini. Namun, paling tidak pelajaran soal tanggung jawab dan prinsip keadilan bisa diajarkan sedari dini, dimulai dalam lingkup terkecil.
Orang tua perlu menerapkan tindakan yang tidak pilih-pilih alias pilih kasih. Barangkali lebih bijak, misalnya ketika dalam pertengkaran tadi, si Kakak terlalu 'over' pada Adik, ia bisa memberi wejangan yang baik. Adik masih kecil, boleh marah tapi jangan terlalu keras. Adik masih butuh waktu lebih untuk bisa belajar.
Begitupun kata orang tua kepada si Adik, supaya tidak boleh nakal pada Kakak. Kalau punya sendiri, tidak boleh merebut begitu saja punya Kakak. Bilang dulu sama Kakak untuk meminjamnya secara baik-baik. Adik juga perlu bertanggung jawab kalau mainan Kakaknya jadi rusak.
Saya percaya pembelajaran yang baik dan bertanggung jawab akan mampu terekam dalam memori seseorang hingga dewasa kelak. Ia bisa memutuskan sesuatu dengan tepat dan bijak karena faktor kebiasaan atau hasil didikan yang baik. Seperti ungkapan bijak, "Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik."
11 September 2021
Hendra Setiawan
*)  Tulisan terkait:  Playing Victim, Bentuk Penghindaran Rasa Bersalah dan Tanggung Jawab
**) Â Sebelumnya: Â Hukum yang Memerdekakan: "Maafkan Saya karena Telah Melaporkan Pencuri"
***) Â Artikel Utama: Â Â Childfree, Pilihan Bebas yang Tak Bebas Nilai
Haus Tak Hilang Walaupun Sudah Minum, Waspada Dehidrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H