Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Playing Victim, Bentuk Penghindaran Rasa Bersalah dan Tanggung Jawab

8 September 2021   18:45 Diperbarui: 8 September 2021   18:55 2803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbongkarnya 'borok' ini tentu menjadi amunisi segar bagi warganet dalam upaya ingin "bersih-bersih" lembaga negara yang dianggap tak banyak guna ini. Kalau urusan sensor film kartun dan pakaian olahraga wanita, mereka begitu aktifnya bergerak secara cepat. Namun tak tahunya di dalamnya ternyata berisi orang-orang yang punya mentalitas seksual yang rendah. 

Berita tentang KPI yang merespon aduan soal pakaian olahraga wanita (Kolase via Instagram)
Berita tentang KPI yang merespon aduan soal pakaian olahraga wanita (Kolase via Instagram)

Bisa jadi karena tak tahan dengan aksi cyber bullying warganet, sebagian dari terduga kemudian melakukan gugatan balik kepada orang yang membuka kasus ini. Melalui kuasa hukumnya, dikatakan bahwa aksi pelecehan seksual dan perundungan tidak pernah ada. Tidak ada bukti pendukungnya. Kejadian di kantor sekadar guyon (bercanda), yang adalah halg biasa saja terjadi. Pihak pelapor saja yang baper dalam mengungkap peristiwanya.

Tindakan ini lagi-lagi mendapat kecaman warganet. Posisi korban bisa terancam menjadi pelaku penyebaran kabar bohong dan mencemarkan nama baik pelaku. Ada dugaan pelaku sengaja playing victim untuk menutupi kesalahan dan menghindarkan diri dari tanggung jawab.

Memang pada dasarnya setiap warga negara berhak atas kedudukan hukum yang sama dan seimbang. Pihak penegak hukum juga berkewajiban memberikan rasa keadilan yang sama. Entah mereka yang merasa berada di posisi sebagai korban, maupun mereka yang merasa dituduh sebagai pelaku kejahatan.

Namun, tentunya pihak penegak hukum tingkat awal hendaknya juga bijak dalam menimbang dan menentukan layak tidaknya sebuah kasus untuk bisa dinyatakan P-21 (berkas lengkap dan sempurna) dan bisa diajukan ke pengadilan. 

Jangan sampai terjadi ada salah penerapan pasal UU ITE akibat pelaksanaan di lapangan berbeda dengan maksud awal (tujuan; teleologis) pembentuk hukum. Sehingga pihak yang semestinya mendapatkan perlindungan hukum justru mengalami "dobel victim". Ibarat "Sudah jatuh, tertimpa tangga pula". Sakitnya tambah menumpuk.

Asas 'kepastian hukum' memang diperlukan supaya tidak ada kekosongan atau celah dalam sebuah aturan. Namun ketetuan hukum tidak semata untuk 'menciptakan ketertiban'. Tapi ia pun harus bisa 'menciptakan rasa keadilan'.

8 September 2021

Hendra Setiawan

*)  Sebelumnya:  Childfree, Plihan Bebas yang Tak Bebas Nilai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun