Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Childfree, Pilihan Bebas yang Tak Bebas Nilai

7 September 2021   18:00 Diperbarui: 8 Februari 2023   15:44 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian isi dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku di Indonesia.

Nah, tentunya dalam berumah tangga itu, memperoleh keturunan alias anak sebagai generasi penerus dalam keluarga adalah hal yang wajar. 

Namun bagaimana jika ada pasangan suami istri yang punya pendapat atau memutuskan untuk tidak memiliki anak sendiri sebagai buah perkawinannya?

Childfree, sebuah istilah yang baru-baru ini eksis lewat jagad maya akibat pernyataan seorang youtuber Gita Savitri. Sebuah kondisi ketika orang (pasangan) memilih secara sadar untuk tidak memiliki anak. Jadi hanya mereka berdua yang ada dalam bahtera rumah tangga itu.

Pro Kontra

Ya, tentu saja pernyataan pribadi seperti itu mengundang reaksi banyak orang. Ada yang sependapat, tapi juga yang menolaknya. Beragam alasan yang bisa mendukung ataupun yang berseberangan.

Fenomena childfree sebelum menjadi ramai (viral) diperbincangkan, sebenarnya secara jujur harus diakui diam-diam telah terjadi. 

Apalagi gaya hidup modern cenderung untuk mendukungnya. Namun karena beredar secara senyap, tak koar-koar, dan hanya diketahui di kalangan terbatas, jadinya kalaupun ramai komentar, hanya terjadi di lingkungan terbatas juga.

Ada banyak faktor pasangan suami istri memilih untuk tidak memiliki anak. Di antaranya karena faktor kesehatan, (terkait organ reproduksi), menikah lewat dari usia produktif. Jadi kalau punya anak sendiri sepertinya sudah tidak memungkinkan.  

Namun tak jarang juga karena alasan keagamaan. Misalnya ingin tetap melayani banyak orang tanpa direpotkan urusan anak. Pelayanan kepada orang-orang "yang membutuhkan dan butuh perhatian", itu sebagai ganti dari sekadar mengurusi anak sendiri.

Jadi childfree memang sebuah pilihan sadar dan tanpa paksaan yang dilakukan secara bersama antar pasangan. Dan keputusan atas hal ini tentu saja tidak serta merta pasca perkawinan berlangsung. Namun, jauh hari sebelumnya  komitmen berdua ini  diperbincangkan.

Faktor Pemicu

Memutuskan untuk childfree memang bukan pilihan yang gampang. Lebih mudah bagi pasangan yang childless dalam memutuskan pilihan. Childless, kondisi tidak memiliki anak, lebih ke arah "takdir".

Artinya, ia tidak bisa menolak keadaan yang terjadi. Tidak memiliki anak karena mereka berada di "garis yang dijalani". Sementara childfree ada di "garis lain" yang menjadi jalan hidup.

Sebab kebanyakan pasangan justru akan mengambil keputusan untuk mengadopsi anak saja sebagai salah satu opsi terakhir jika ternyata pasangan suami istri tersebut dinyatakan secara medis tidak bisa memiliki keturunan sendiri. Program  'Bayi Tabung' jika memiliki dana yang cukup.

Alih-alih memilih childfree, justru karena masalah anak bisa menjadi  salah satu sumber kelanggengan masa berumah tangga. 

Kasus perceraian, salah satu indikasi alasan gugatan perkawinan karena pasangannya ditengarai  'mandul' (infertil).  Jadi bukan hanya cerita sinetron, yang ada cerita pasangan selingkuh, kawin lagi, dan seterusnya.

Childfree bisa dipengaruhi banyak faktor. Misalnya karena pengalaman trauma masa kecil, sikap pribadi, atau karena  pengamatan kepada orang-orang yang memiliki anak. 

Endapan pengalaman ini ketika bertemu dengan pasangan yang memiliki keyakinan (pikiran) yang sama, maka jadilah ini menjadi pilihan yang logis bagi mereka.

Kalau toh secara ekternal adalah memikirkan soal finansial (kebutuhan hidup) anak yang jumlahnya juga tidak sedikir, barangkali itu bukan menjadi pertimbangan yang utama. Namun menjadi urutan yang kesekian.

Sementara kalau alasan lingkungan, faktor bumi yang makin tidak sehat, populasi yang makin sesak, korelasi ini adalah alasan pemicu lainnya.

Tabu

Perkawinan di Indonesia secara sosial bukan hanya mempersatukan dua insan ke dalam ikatan keluarga yang baru. Namun juga mempertemukan dua keluarga dari masing-masing si calon. 

Kalau pilihan childfree bisa diterima oleh kedua orang tua dari kedua belah pihak, persoalan lebih mudah. Namun jika ada orang tua yang berkeinginan momong (mendapatkan) cucu, tentu ini jadi sebuah masalah baru yang bisa berkepanjangan.

Apakah ini berarti mereka (pasangan baru) itu tidak mempunyai tanggung jawab terhadap "hukum perkawinan"? Bisa jadi demikian. Pada satu sisi mereka dianggap "tidak normal atau lazim" oleh lingkungannya. 

Jadi bahan omongan, mengalami perundungan, dan seterusnya. Mereka dianggap egois karena hanya memikirkan kesenangan berdua semata.

Namun dari sisi sebaliknya, pilihan sadar childfree adalah sebuah keputusan rasional yang bertanggung jawab. Mereka menjadi sabar, mandiri, siap jadi bahan celaan, dan percaya diri pada pilihan hidupnya.

Di luar nalar logis, pasangan yang memilih childfree bisa jadi merasa karena anak bukanlah seperti sebuah "aset". Mendidik dan merawat mereka dengan sebaiknya agar kelak ketika mereka besar, ganti bisa merawat kedua orang tuanya. Itu bukan pola pemikiran yang tepat.

Mereka seolah menentang stereotip di masyarakat bahawa wanita dalam berumah tangga hanya dipersiapkan untuk hamil ,melahirkan, dan merawat anak. Sementara pihak laki-laki diharapkan berperan menjadi kepala keluarga bagi istri dan anak mereka.

Childfree vs Childless

Sebuah pilihan, dampak sosialnya tidak hanya terjadi pada yang bersangkutan, Namun juga pada lingkungan komunitas yang jauh lebih besar.

Ada baiknya juga soal childfree ini bisa menggelinding menjadi percakapan umum di jagad maya. Persoalan bersama ranah privat bisa diangkat dan dibahas secara publik. Jadi bisa lebih tahu duduk persoalan, bisa lebih banyak aspek yang bisa dimengerti, dan akhirnya cara menyikapinya lebih tepat (bijak).

Namanya pilihan adalah hak pribadi. Sependapat atau berseberangan juga sebuah pilihan yang perlu dihormati. Justifikasi justru tidak menjadikannya yang satu lebih benar ketimbang yang lainnya.

Namun pendapat secara pribadi, meskipun perkawinan itu bukan semata dan satu-satunya alasan untuk menghasilkan keturunan. Namun berpulang kembali pada "mandat Ilahi" bahwa "beranak-cucu dan mengusahakan bumi agar baik keadaannya" tak boleh juga untuk diingkari. Hal ini juga wajib menjadi bahan pertimbangan lainnya sebelum sampai pada kesepakatan "Kami Childfree".

7 September 2021

Hendra Setiawan

*) Tulisan lain (Artikel Utama):  Haus Tak Hilang Walaupun Sudah Minum, Waspada Dehidrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun