Aktivis Kompasianer beberapa hari ini ada yang menyoroti soal tulisannya yang mentah-mentah masuk situs lain, seperti yang paling banter disorot adalah SiapGrak!.com. Situs "maling" begitu komentar yang disematkan, karena saking jengkelnya.
Secara tak langsung, Admin Kompasiana sebagai penyedia halaman ini diminta pertanggungawabannya. Dianggap tidak mampu melindungi para 'anak kos' yang tinggal di rumahnya.
Berhubung yang menulis dan yang memberi komentar tidak hanya satu dua, maka meluncurlah saya ke situs yang dimaksud. Benar saja, situs ini benar-benar intelektual tak punya moral dan etika yang baik.
Jangankan tulisan personal yang muncul, hasil kurasi dari wartawan Kompas sendiri pun dibajaknya mentah-mentah. Kalau saja tak ada yang berkeluh kesah, barangkali saya pun juga masih asyik sendiri di kanal ini.
Kurasi Kompasiana
Saya juga baru tahu, ternyata induk dari Kompasiana secara ajeg juga merilis "Kurasi Kompasiana" di halaman Kompas.com.  Tetapi cuma satu nama itu yang muncul sebagai penulisnya (kurator/editor). Mungkin yang bersangkutan yang diserahi tugas ini, saya tidak tahu. Silakan  di cek sendiri. Cari di kolom pencarian bertanda kaca pembesar dengan kata kunci "kurasi kompasiana".
Ah, baru tahu saya, ternyata lewat halaman ini pula, jumlah pembaca halaman tulisan itu bisa bertambah banyak secara cepat. Apalagi kalau sudah diganjar predikat "Artikel Utama". Tapi label "Pilihan" pun juga bisa kok dikurasi. Jadi ini semcam "promosi gratis", hehe...
Ya, tentu bukan ini satu-satunya yang mempromosikan. Akun Kompasiana di media sosialnya semacam Instagram, Facebook, atau Twitter kadangkala juga mem-posting hasil tulisan dari Kompasianer yang dianggap layak dinaikkan jadi berita utama.
Tak Nyaman Menulis
Nah, kembali pada situs tukang colong (pencuri) ini, tentu bagi pembaca cerdas bisa menilai sendiri kira-kira seperti apa situs yang tidak berani menampilkan jatidiri seperti ini. Eksistensi dari kegiatan copas (copy paste) memang murah dan mudah. Tak banyak mikir, kecuali hanya memperhitungkan kapan ada tulisan luar yang bagus yang bisa diambil-alih seketika.
Mentalitas seperti ini memang jadi musuh bersama, khususnya para penulis 'papan atas'. Mereka yang benar-benar menulis, berkarya dengan bagus dan berkualitas. Namun pada sisi lain mendapatkan karyanya muncul di situs lain tanpa ijin yang bersangkutan. Ini jadi semacam ironi.
Pada posisi seperti inilah pernah juga saya akhirnya memutuskan diri untuk tidak lagi menulis pada tema tertentu (sejarah). Walaupun sebenarnya tema itu cukup disukai dan bisa enjoy melakukannya.
Coba saja bayangkam. Menulis artikel dengan berbekal buku cetakan, ditambah hasil penelusuran internet sebagai bahan pembanding dan pembaru data. Namun setelah jadi dan ditayangkan di media online, lalu suatu ketika ditayangkan juga di situs atau website yang lain.
Masih bisa memberikan toleransi jika yang menayangkan ulang mau menyebutkan sumber asli. Tetapi bisa jadi marahnya ke puncak, di situs yang baru tadi tidak memberikan keterangan apa-apa. Pengunjung yang nyasar, pasti akan menyangka kalau pemilik situs yang ia baca adalah pemilik naskah yang asli. Dengan begini, jika pengunjung tadi menuliskan sumber dari situs hasil plagiasi, berapa banyak lagi orang jadi korban?
Masihkah Menulis?
Saya tidak tahu bagaimana teknis detilnya kalau memakai bahasa program hingga sebuah artikel bisa sama persis dari sumber aslinya. Barangkali di sumber yang baru memiliki beda di penataan (layout), jenis huruf atau tampilan lainnya.
Berhubung tulisan saya masuk hasil kurasi di Kompas.com tersebut, setidaknya cukup senang walau hanya disebut nama, haha...  Tapi pun demikian cukup kecewa juga kalau akhirnya itu juga ikut masuk situs colongan yang namanya ada di awal tulisan ini. Semoga Admin Kompasiana dan induknya sendiri Kompas.com bisa menindaklanjuti temuan dari para penggemarnya.
Jujur terkait dengan hal ini, perasaan untuk enggan menulis yang bagus seolah muncul lagi. "Malas dah, nulis bagus-bagus, dicomot begitu saja!"
Apa tidak usah menulis saja ya? Bukankah demikian situs yang gemar mencuri karya tidak punya bahan dari kita? Ah, tapi itu terlalu ekstrim juga...
Atau cukup menulis yang biasa-biasa saja? Tapi itu juga menurunkan standar kita sendiri?
Terus bagaimana? Auk, ah, gelap...!
5 Agustus 2021
Hendra Setiawan
*) colongan = hasil pencurian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H