Bahkan terkadang pemberian ini bisa dobel-dobel. Ada orang yang sudah dapat, diberi lagi. Eloknya, ia pun akan membaginya kembali kepada yang lain. Terserah kepada siapa yang mau dan tak menolak rezeki.
Kata "berkah" dan "berkat" sebenarnya sama artinya. Mungkin karena di negeri +62 ini, faktor "agama" cenderung  kuat mampir di ingatan, jadi  istilah seperti ini pun bisa jadi "turun pangkat". Artinya, ia tak lagi bersifat netral, tapi 'sudah memihak'.
Contoh lain istilah misalnya "lagu religi" dan "lagu rohani". Pengertiannya sebenarnya sama. Tapi dalam bayangan orang, ini istilah untuk dua komunitas agama yang berbeda. Pun demikian dengan sebutan "jamaah" dan "jemaat". Jelas berbeda rasa walau sasaran maksudnya cukup diketahui.
Ah, sudahlah.... Lupakan perbedaan ini dulu. Lebih baik cari padanannya saja. Kesamaan unsur yang baik, itu saja yang diambil. Jangan mempertentangkan perbedaannya. Tak ada faedahnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring (online) memberikan pengertian dari dua istilah tadi sebagai berikut.
A. "berkah"/ber*kah/ n karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia; berkat
B. "berkat" 1/ber*kat/ 1 n karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia: semoga Tuhan melimpahkan -- Nya kepada kita; 2 n doa restu dan pengaruh baik (yang mendatangkan selamat dan bahagia) dari orang yang dihormati atau dianggap suci (keramat), seperti orang tua, guru, pemuka agama: sebelum berangkat meninggalkan kampung halaman, dia memohon -- kepada gurunya; 3 n makanan dan sebagainya yang dibawa pulang sehabis kenduri: undangan itu masing-masing pulang dengan membawa -- ke rumahnya; 4 v cak mendatangkan kebaikan; bermanfaat; berkah: uangnya banyak, tetapi tidak --;
Jadi pengertian dari gerakan "Jumat Berkah" secara tidak langsung dapat diartikan sebagai tindakan manusia sebagai respon atas karunia Tuhan. Dan tindakan yang ia lakukan itu mendatangkan kebaikan bagi "kehidupan". Kehidupan terhadap sesamanya sebagai manusia, atau terhadap makhluk ciptaan yang lainnya (tumbuhan dan hewan).
Dalam budaya Jawa ada satu ungkapan yang senada dengan hal ini. "Urip sak madya". Hidup dengan secukupnya.
Bukan artinya tak boleh kaya alias memiliki kekayaan yang melimpah. Maksudnya bukan demikian. Namun dengan kekayaan yang dimiliki itu, seseorang bisa mencukupkan diri. Tidak terus merasa kurang. Tapi justru bisa mengelola kekayaannya itu untuk kebaikan bersama atau terhadap sesamanya.
Sebaliknya, juga tidak boleh merasa puas dengan keadaan yang ada saat ini. Merasa pasrah dengan status ekonomi yang sangat standar. Asal cukup begitu saja.
Dalam bahasa Kitab Suci, salah satu ungkapan yang punya pengertian hampir sama adalah "cukupkanlah (puaskanlah) dirimu dengan apa yang ada padamu." Jangan tamak untuk diri sendiri. Kalau untuk keperluan atau kebutuhan diri sendiri sudah cukup (terpenuhi), jangal lantas berdiam diri.