Personal branding, citra diri. Setiap orang pasti menginginkan dirinya dikenal secara baik dan hebat di mata orang lain. Wajar saja, sebab orang juga butuh aktualisasi dan  pengakuan diri.
Pada era media sosial (medsos), citra diri seseorang lebih mudah diketahui, meskipun masih minim. Setidaknya masih bisa sedikit mengetahui ketimbang tiada data secuilpun yang menggambarkan kemampuannya.
Citra diri di era komunikasi dan teknologi kini amat perlu dan penting. Apalagi dalam dunia kerja. Bersaing dengan puluhan, ratusan, atau ribuan orang sekaligus. Tentu baik pihak pemberi kerja dan pencari kerja harus punya faktor pembeda dari yang lain. Kemampuan yang lebih, yang tak dimiliki calon pesaing lain.
Personal branding bisa dikatakan sebagai cara untuk mempromosikan diri. Saya bisa apa, saya punya keahlian apa, saya punya pengalaman apa. Hal-hal yang membuat orang lain bisa percaya bahwa saya mampu untuk diajak bekerja bersama.
Citra Diri yang Tepat
Inti dasar dari seseorang membuat personal branding adalah ia ingin agar dirinya dikenal lebih baik. Apalagi orang yang sama sekali tak pernah bertemu langsung.
Berbeda dengan komunitas terdekat. Siapa kita, karakternya seperti apa, punya kemampuan apa, tak perlu dijelaskan dengan kata-kata indah, sudah tahu.
Personal branding tujuannya lebih luas dari sekadar dikenal komunitas terdekat tadi. Ada step lanjutan supaya ia tidak hanya dikenal di lingkungan yang kecil, tapi makin membesar.
Promosi diri. Bisa jadi seperti itulah personal branding. Mirip dengan musim kampanye. Para calon mempromosikan diri supaya dikenal lebih dekat dan lebih baik oleh para konstituen (calon pemilih).
Pencitraan atas diri sendiri, tak bisa dimungkiri, bisa berarti positif atau negatif. Tergantung dari persepsi dan sudut pandang setiap orang.
Maka sebagai langkah yang tepat, kalau ingin memosisikan diri sesuai karakter yang ditampilkan, jangan melebih-lebihkan dari yang sebenarnya. Misalnya dalam skoring  kemampuan baru ada di level 6-7, ditampilkan 8-9. Tentu bagus bagi yang melihatnya.
Namun kerugian itu justru ada pada pihak yang melakukan personal branding. Ia akan kesulitan menjalankan jenis pekerjaan sesuai level yang ditampilkannya. Sudah begitu, ia akan dianggap melakukan pembohongan. Kalau itu jadi tersebar, makin banyak yang tidak mempercayainya. Rusak sudah personal branding yang dibangun.
Kepercayaan atau trust;Â padahal justru ini yang amat dibutuhkan dalam dunia pekerjaan. Soal kemampuan, itu bisa dipelajari dan ditingkatkan. Nah, reputasi yang baik tentu akan membuat rasa nyaman siapapun yang bekerja sama, berkolaborasi.
Â
Mengembangkan KoneksiÂ
Koneksi, jejaring, relasi, atau apapun istilahnya. Inipun bisa meningkatkan personal branding seseorang. Memiliki lingkaran profesional sesuai dengan yang ditampilkan, memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk lebih dikenal.
Tapi jangan ini diartikan negatif, ya... Koneksi yang berkaitan dengan memanfaatkan celah 'orang dalam'. Mudah di jalan awalnya, tapi menjalaninya nanti bisa berisiko.
Istilah yang lebih membumi seperti kata "testimoni", kesaksian. Orang yang sudah mengenal kita, tanpa perlu meminta tolong, mereka bisa menjadi rekan, partner yang baik sebagai pihak yang membantu mempromosikan diri kita. Lebih merekomendasikan nama kita ketimbang yang lain.
Seiring berjalannya waktu, menjaga kepercayaan mitra juga perlu terus diimbang dengan memperkuat kredibilitas. Seberapa jauh pencapaian dan hasil yang sudah nampak, perlu dijaga agar tetap nampak konsisten.
Begitulah rupa kita. Begitulah wajah kita. Asli, tak dibuat-buat. Bisa karena memang itu kemampuan yang sesungguhnya. Tidak mengada-ada. Personal branding yang memang sesuai dengan kenyataan, bukan polesan agar tampak menarik.
11 Juni 2021
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H