Bahasa yang Hidup
Di luar bahasa lisan dan tulisan, sebuah peribahasa juga bisa saja ditemui dalam keseharian. Misalnya, “Berat sepikul, ringan sejinjing.” Atau dalam kalimat yang lain biasanya berbunyi, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.”
Peribahasa yang menggambarkan soal kesehatian. Suka dan duka, jika bisa dilewati bersama-sama, tentu lebih melegakan. Bisa saling support, mendukung, berempati. Bukan kalau senang saja mau bersama. Kalau masanya tidak enak, tidak menyenangkan, malah ditinggalkan.
Bisa jadi, hal-hal yang sudah dilakukan ini, hidup erat dalam keseharian pada sebuah komunitas masyarakat, adalah bentuk peribahasa yang tak bisa dikategorikan sebelumnya. Termasuk tutur atau tulis.
Manfaat Penggunaan Peribahasa
Tahu, meskipun tak harus hafal banyak, sebenarnya punya banyak manfaat. Setidaknya bisa membuat seseorang lebih punya banyak kosakata. Kelebihan itu bisa dipergunakan dalam percakapan atau ketika sedang menyusun kata-kata (menulis).
Misalnya, kata peribahasa, “Membuang garam di lautan.” Atau dalam bahasa Jawa keseharian, “Nguyahi banyu segara (baca: segoro).” Ungkapan yang menunjukkan sebuah kesia-siaan. Konteksnya adalah memberikan bantuan kepada orang yang sudah memiliki. Atau bisa juga karena tidak tepat sasarannya. Jadi, pemberian yang dilakukan sebenarnya menjadi tak berguna.
Pemakaian kiasan alias peribahasa seperti di atas tentu juga berguna dalam memperhalus bahasa. Ya, barangkali karena adanya perbedaan kultur (budaya) yang melatarbelakangi seseorang. Sehingga dalam bertutur kata, perlu memilih kata yang tepat.
Masih banyak sebenarnya peribahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat tempat tinggal kita. Namun memang secara tutur dan tulis menjadi kian pudar.
Maka, biar tidak terlupakan, selagi masih ingat peribahasa apa saja yang masih “hidup”, sekali-sekali pakai saja dalam keseharian. Minimal dalam keluarga atau teman-teman terdekat. Atau bisa juga grup WA yang sebaya; sebagai cara efektif untuk saling belajar mengingat pelajaran berbahasa tempo dulu.
10 Juni 2021