Melanjutkan tulisan sebelumnya (KLIK DI SINI), Minggu pagi memang waktu yang lebih rileks untuk menikmati jalanan kota. Lalu lintasnya tak terlalu padat oleh kendaraan. Kalau mau membuat dokumentasi juga lebih mudah. Tapi mungkin tak banyak info yang didapatkan, karena sepi.
Tak masalah, hari begini, kemajuan teknologi begitu memudahkan. Informasi primer justru bisa diambil belakangan. Malah kadang hanya menjadi penguat saja. Begitulah mungkin revolusi gagasan dalam membuat sebuah pemberitaan.
Pusat kota Surabaya masa Hindia Belanda berada di kawasan Jembatan Merah. Pasti tahu lokasi ini. Ada lagunya juga yang membuatnya terkenal. Terlebih lagi peristiwa 10 November 1945. Terbunuhnya Brigadir Jendral Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby pada 30 Oktober di tahun yang sama, juga di area sekitar sini.
Sayang, bangunan yang terletak di Jalan Jembatan Merah Nomor 19-23 (dalam plakat nomor 15 ) ini sepertinya tak terawat jika dilihat dari luar. Nah, yang membuat ‘trenyuh’ (iba, kasihan, sayang) adalah bentangan spanduk yang menandakan bangunan yang konon sudah berusia 120 tahun ini segera dijual. Padahal statusnya adalah BCB (satu bangunan cagar budaya) sejak 1998.
Ah, rasanya tak rela jika gedung bersejarah ini lepas tangan dan beralih ke tangan yang salah, Bisa-bisa dihancurkan juga, seperti sudah banyak yang terjadi. Seperti yang giat disuarakan oleh gerakan komunitas pecinta sejarah, arsitektur kota, yang ingin supaya Pemkot menyelamatkannya. Tentu dengan cara membelinya, dan bisa memanfaatkannya menjadi museum atau apalah namanya.
Sejarah Bangunan
Gedung Singa beberapa kali mengalami perubahan nama dan peruntukan. Konon, masa pembangunannya dimulai sejak tahun 1901.
Dahulu, gedung ini menjadi "Kantor Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hari Tua" (Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente). Pada masanya, ia menjadi perusahaan asuransi jiwa yang paling besar di Belanda. Berdiri secara resmi pada 1880, namun gulung tikar pada tahun 1921.
Sumber-sumber sejarah yang beredar menyebutkan, pada saat masih menjadi gedung Algemeene, di bagian atas gedung terdapat sebuah papan tulisan yang menunjukan kalau gedungnya pernah ditempati PT. Aperdi Djawa Maluku. Maka, bagi masyarakat setempat, ia disebut juga Gedung Aperdi.
Gedung yang pada bagian atasnya juga memiliki lukisan keramik ini, dulu dibangun atas jasa arsitek bernama Hendrik Petrus Berlage (1856-1934). Di Belanda sendiri, ia dianggap sebagai Bapak Arsitektur Modern. Dan karyanya itu juga turut menginspirasi dunia arsitektur di Eropa dan dunia umumnya.
Desain bangunan yang dirancangnya bercorak Art Nouveau, dengan model lengkungan bata merah sebagai ciri khas. Sedangkan untuk peletakan batu pertama dari perusahaan asuransi itu dilakukan pada 21 Juli 1901 oleh John von Hemert.
Dua patung singa yang menjadi penanda khas dari bangunan ini konon dibuat oleh pematung J. Mendes Da Costa. Nah, kalau melihar secara sepintas, sepertinya sama saja. Namun, sebenarnya keduanya merupakan pasangan. Singa jantan ada sisi selatan (kanan). Sedangkan singa betina di sisi utara (kiri).
Mengapa hewan singa ini yang dipakai sebagai penanda? Konon, ini juga dipengaruhi oleh "penemuan arkeologi di Mesir" pada masa tersebut. Kemudian hal ini juga menimbulkan eksotisme baru di Eropa. Bukan cuma dari sisi pengetahuan, tapi juga kebudayaan Mesir kuno itu muncul di museum-museum di Eropa.
Tujuan dari pemberian patung singa dan lukisan keramik yang menghias bangunannya masing-masing memperlihatkan elemen dari Mesopotamia dan Mesir kuno. Melambangkan keabadian. Seperti sebuah pesan tersirat bahwa uang pelanggan akan aman untuk selamanya di perusahaan ini.
Kaya Warna Sejarah
Menengok lebih atas pada penampang fasad, nampak jelas hiasan keramik bergambar, walaupun sudah nampak agak memudar oleh debu. Nah, ini yang membuatnya juga beda lagi, yaitu seniman yang sangat terkenal pada saat itu, Jan Toorop. Lukisannya ini juga punya filosofi khusus pada perusahaan yang memesannya.
Jan Toorop melukis seorang raja Jawa yang duduk di tengah dengan tangan dan sayap mengembang. Ada garis pada dada yang membentuk huruf A (barangkali inisial Algameene). Di sebelah kanannya ada seorang perempuan berpakaian gaya Eropa yang sedang mengangkat bayi berambut pirang.
Sementara pada sisi kiri, ada gambar perempuan bersanggul dengan pakaian adat Jawa. Ia juga sedang terlihat menimang bayi. Bedanya, bayi tersebut berambut hitam. Pesan yang ingin disampaikan mungkin tentang kesetaraan antarbangsa. Baik masyarakat Indonesia maupun warga Eropa atau bangsa lainnya, mendapat perlakuan yang sama.
Tepat persis di depan Gedung Singa –jika memosisikan diri dari arah gedung— maka bisa terlihat jelas sebuah sungai besar yang dulu menjadi urat nadi transportasi. Kantor Algemeene di Surabaya ini mengikuti konsep tradisional khas Belanda. Sederet bangunan yang menghadap ke kanal, dengan fasad indah, sebagai representatif untuk status pemiliknya.
Sementara itu, barangkali karena kasus yang membelitnya, gedung yang dimiliki oleh PT Asuransi Jiwasraya ini akhirnya ikutan dijual. Akankah yang di Surabaya ini jadi tinggal cerita semata? Entahlah, semoga saja tidak. Kiranya ada hati yang tetap mau dan rela merawat bangunan yang bisa menjadi pembejaran di bidang arsitektur khususnya.
7 Juni 2021
Hendra Setiawan
*) data dirangkum dari beragam sumber
**) Sebelumnya: Bersepeda, Andil Gerakan Cinta Lingkungan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H