Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Zahra, Potret Kemanusiaan yang Tak Adil dan Tak Beradab

5 Juni 2021   16:30 Diperbarui: 5 Juni 2021   16:35 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase instagram @ciarachelfx dan @indosiar

Sudah sekitar 2-3 tahun ini saya tak pernah menonton 3 tayangan stasiun televisi swasta nasional. Walaupun channel-nya masih tersedia dan belum dihapus dari program TV. Cekal alias blacklist seluruh mata acara. Ya, begitulah... sebagai efek hukuman moral atas tayangan yang seringkali membuat kontroversi, kontraproduktif, berita yang tak berimbang,serta mutu tayangan yang tak mendidik.

Stasiun TV swasta lainnya yang saya kategorikan 'kuning", hanya ditonton untuk sekadar menikmati film asing, musik, olahraga, atau tayangan pendek 30-60 menit yang bersifat edukatif.

Begitulah cara praktis buat orang serumah untuk mendapatkan tayangan yang lebih berkualitas. Bukan sensasi, drama rumah tangga yang unfaedah, atau hiburan yang dibalut dengan pelecehan anggota tubuh dan profesi.

Selektif Menonton

Sinetron FTV yang durasi 90-120 menit, mungkin kadang menonton. Hanya sebagai hiburan semata, daripada bengong. Tidur juga belum waktunya. Ya, walaupun sudah bisa menebak jalan ceritanya, hahaha...

Paling-paling (kalau tema romantis), ada cowok dan cewek. Tidak saling kenal. Bertemu dalam suasana tidak baik. Lalu dipertemukan karena ketidaksengajaan. Lantas saling tumbuh benih cinta, walau awalnya ogah.  Dalam perjalanan waktu, ada orang ketiga, yang membuat karakter utamanya berpisah. Kebenaran lalu terungkap, mereka bisa bersama lagi. Selesai. Happy ending.

Terus kalau sinetron panjang yang tak jelas ending-nya? Lupakan saja! Mending nonton drakor. Walaupun serialnya ada yang sampai puluhan. Tapi jelas tamat di episode ke berapa.

Beda banget dengan sinetron alay-alay ala negeri +62. Sudah ceritanya sering tak masuk akal, isi cerita bisa menyesuaikan pesanan. Kalau digemari, dibuatlah makin panjang, dengan menampilkan tokoh-tokoh baru. Makin tak bisa dinalar.

Drama Viral

Terbaru, yang jadi ramai oleh warganet adalah kisah perempuan yang menjadi istri muda. Wanita ketiga dalam sebuah rumah tangga. Sinetron ini ditayangkan oleh stasiun televisi  yang khas berjuluk "ikan terbang". Judul sinetronnya adalah Suara Hati Istri, ditayangkan sore hari pkl. 18.00 WIB.

Inti cerita sinetron ini menceritakan Zahra, seorang gadis SMA dari keluarga tidak mampu. Mulanya, Zahra terlibat hubungan dengan Alsyad, teman sekolahnya. Tapi kemudian, Tirta, ayah Alshad juga suka pada Zahra.

Tirta sudah punya dua orang istri, namun masih menyukai Zahra. Zahra awalnya menolak ajakan Tirta yang ingin menjadikannya istri ketiga. Namun, ada berbagai kondisi yang memaksa Zahra akhirnya bersedia menikah dengan Tirta.

Salah satu alasannya adalah ayah Zahra, seorang petani miskin itu punya hutang dengan Tirta. Rupanya, Tirta merupakan majikan dari ayah Zahra. Zahra akhirnya menjadi 'tumbal' pengganti hutang.

Kecakapan Peran

Tokoh utama sinetron ini diperankan oleh Lea Ciarachel Fourneaux, seorang artis muda yang bisa dikatakan baru muncul tahun ini. Lea kelahiran Bali, 5 Oktober 2006. Jadi, usianya saat ini adalah 15 tahun. Masih duduk di bangku SMP.

Polemik ini mencuat tidak saja karena perannya sebagai orang dewasa, dan tengara pedofil. Namun juga adegan dalam sinetron yang tak semestinya dilakukan oleh anak yang belum dewasa secara hukum.

Jadi terdengar aneh bin lucu ketika ada artis lain yang punya pendapat, "Salahnya di mana? Tidak ada adegan percintaan, adegan ranjang vulgar yang ditampilkan. Apa bedanya dulu dengan Pernikahan Dini?"

Ya, namanya pendapat, tidak salah. Justru dikatakan "profesional" kalau seorang pekerja seni bisa beradegan, mendalami peran sesuai karakter yang ada dalam skenario.

Salahnya justru ada pada komentar yang hanya melihatnya secara sepotong. Out of context, di luar konteks yang dipermasalahkan.

Nalar dan Pendidikan Moral

Tidak ada yang mempersalahkan kalau ada anak di bawah umur sudah melakukan pekerjaan seni peran. Film drama musikal laris seperti Petualangan Sherina yang dibintangi oleh nama yang sama, justru umurnya lebih muda lagi ketimbang Lea.

Bedanya apa? Sherina tetap melakonkan peran sesuai dengan dunianya, dunia anak-anak. Lea mendapatkan peran atau, setidaknya diberikan peran yang tidak sesuai dengan umurnya.

Terlebih lagi dengan cerita poligami yang diangkat. Apa tidak pernah baca UU Perkawinan? Azas utamanya adalah monogami. Perkecualian untuk itu banyak prasyaratnya.

Apakah ini mau promosi terselubung? Wanita kok gampang ditimbang bak barang dagangan? Anak perempuan atau wanita kok jadi tak punya daya begitu?

Okelah, kalau itu diangkat dari kisah nyata yang masih terjadi di sebagian masyarakat. Tetapi pesan moral apa yang mau ditampilkan?

Televisi sebagai tontonan, seharusnya juga menjadi tuntunan. Masyarakat memang butuh hiburan, tapi berilah hiburan yang juga berkualitas.

Menjadi ironis jika pemerintah tengah berjuang keras mencegah pernikahan usia anak. Namun konten yang ditayangkan oleh media penyiaran hanya menampilkan sisi profit dan hiburan semata. 

Berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS). penyedia layanan konten, pada hakikatnya dapat memberi informasi, mendidik, dan bermanfaat bagi masyarakat, terlebih bagi anak. Setiap tayangan harus ramah anak dan melindungi anak.

Banyak Pekerjaan Rumah

Ada banyak persoalan yang tak bisa diselesaikan hanya sekadar penggantian peran utama oleh rumah produksi (production house) sebagai pembuat sinetron. Respons tuntutan tayangan sehat dan bermutu, tak jua ada titik terang.

Pelaku industri dan pemerintah lewat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) hanya bersifat normatif dan reaktif; tidak proaktif. Bersuara dan bergerak hanya ketika menjadi santer dalam polemik.

Pada sisi lain, bukankah sudah ada payung hukum yang jelas? Sebelum anak dianggap dewasa secara hukum (19 tahun), seseorang masih di bawah pengampuan dari orang tua atau wali. Jadi, persoalan anak di bawah umur yang bekerja, tetap menjadi tanggung jawab orang tua atau wali. 

Apakah dalam hal sekadar tuntutan peran bisa termasuk kategori eksploitasi? Mari diskusikan lebih lanjut... Orang tua/wali dan PH sebagai dua pihak yang berkontrak, jelas berada di barisan terdepan. 

Perlindungan Anak

Entah apakah ini juga kebetulan ataukah tidak, tanggal 1 Juni juga diperingati sebagai Hari Anak Internasional atau Hari Perlindungan Anak Sedunia. Kesadaran bahwa kemiskinan, pendidikan, hingga eksploitasi dan perdagangan anak, masih marak di berbagai tempat.

Dalam hal inilah, peran serta warganegara dan pemerintah untuk wajib mendukung dan berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan anak-anak. Agar persoalan sebagaimana tersebut tadi dan barangkali digambarkan dalam sinetron di atas, jangan sampai terus berulang dan menjadi kewajaran.

Justru yang sangat dibutuhkan adalah semangat, motivasi, dan inspirasi atau solusi praktis.  Biar anak, dan terutama kaum perempuan, menjadi makin berdaya.

4 Juni 2021

Hendra Setiawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun