Cerita-cerita kebaikan, kalau dikumpulkan, barangkali sudah bisa menjadi setebal buku novel. Sayang, banyak kejadian seperti ini tidak banyak terungkap ke permukaan.
Kalaupun itu hanya kita sendiri, yang mungkin mengalami, Â seringkali juga memendamnya. Buat diketahui dan dialami diri sendiri saja. Tidak ada upaya untuk menceritakan ulang atau sekadar membagikannya melalui bentuk tulisan yang bisa dibaca banyak orang.
Ya, bisa jadi supaya tidak dikira promosi. Tidak enak dianggap 'pamer kebaikan' dan berbagai macam alasan yang lain.
Sebenarnya ada keuntungan ketika kita memiliki media sosial (medsos). Paling fenomenal mungkin Facebook. Tapi tak menutup kemungkinan juga lewat Instagram atau Twitter. Tapi dua yang disebut terakhir ini punya keterbatasan dari segi upload data.
Ada banyak cerita yang muncul dan akhirnya viral melalui jejaring sosial tadi. Bahkan, media mainstream (arus utama) pun bisa kalah telak. Mereka justru berkali-kali membuat berita yang berasal dari media sosial milik warganet.
Tak MudahÂ
Menuliskan sebuah cerita di medsos, memang gampang-gampang susah. Gampang, kalau tinggal menuliskannya. Toh, menulis di medsos juga tak terlalu terikat PUEBI (d.h. EYD).
Susahnya justru kadang muncul dari teman sendiri. Kalau biasanya orang tersebut bawaannya melucu, cerita serius kadang masih juga di(t)anggap sebagai banyolan. Haha, serba salah...
Misalnya, beberapa hari kemarin, seorang kawan FB menceritakan bagaimana ia menolong orang yang tak tahu jalan. Orang luar kota, jadi sopir pengantar barang. Tujuannya ke suatu tempat. Tapi tak jelas petunjuk pendukung lainnya. Hanya satu nama secuil.
Mulanya ia hanya memberi petunjuk arah pada sopir. Lama-lama jadi tak tega sendiri. Sopir tadi akhirnya ia susul. Bahkan menjadi kompas hidup, hingga pendatang tadi sampai ke tujuan yang dimaksud.
Itu baru satu cerita kebaikan yang terjadi, yang diceritakan oleh satu orang. Jika saja dari 100 orang teman di medsos melakukan hal yang sama, sudah jadi 100 kumpulan kisah. Tidak harus setiap hari. Satu minggu saja, 1 cerita kebaikan. Sangat mungkin itu terjadi.
Kalaupun bukan pengalaman sendiri, bisa diambil dari kisah-kisah kenalan lain. Membantu menceritakan ulang. Bukan main, medsos akan penuh cerita-cerita indah dan saling menginspirasi.
Bukankan sudah terlalu jenuh jika linimasa dipenuhi kisah-kisah "sampah". Orang saling mem-bully ketika beda pandangan politik. Menebar hoaks padahal ia seorang ASN atau pejabat yang digaji oleh negara. Guru yang semestinya mendidik murid agar punya perilaku yang baik, tapi malah mengajarkan paham kebencian (intoleransi). Kasus-kasus yang terus mendominasi linimasa berita ini, perlu diimbangi ---bahkan kalau perlu lebih banyak porsinya--- dengan cerita-cerita kebaikan.
Ah, tapi memang tak mudah juga untuk menceritakan "Kabar Baik" seperti itu. Entahlah, mengapa jumlahnya lebih sedikit ketimbang porsi yang lain, yang bisa mengaduk emosi. Hingga satu macam kisah bisa menjadi ratusan hingga ribuan tanggapan. Sementara, Kabar Baik hanya mendapat perhatian satuan atau puluhan penggemar.
Tak masalah dan tak usah dipermasalahkan juga menghadapi ini semua. Menapak jalan kebaikan memang penuh liku. Tapi sebagai bagian dari bangsa besar bernama Indonesia, merawat dan merayakan keluhuran nilai kebaikan, tetap perlu terus dipertahankan dan diwariskan. Setidaknya dengan berkarya lewat tulisan yang sengaja terus diproduksi.
Salam kebajikan....
30 Mei 2021
Hendra Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI