Jujur saja saya atau banyak orang tak habis pikir dengan model aturan yang ada di Indonesia. Misalnya, ada ada sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga resmi atas nama negara. Kemudian ada orang yang kapasitasnya punya jabatan tinggi dalam sebuah kelembagaan negara.Â
Ia lalu meminta isi peraturan yang ada tadi ada 'pelonggaran' di dalamnya. Bukankah ini juga yang dinamakan atau termasuk dalam  "intervensi hukum"?
Tentu saja, jika peraturan yang dibuat itu jelas-jelas melanggar produk hukum yang lebih tinggi atau konstitusi, maka konsekuensi logisnya adalah "batal demi hukum".Â
Tak perlu ada ribut-ribut dulu atau diributkan, baru kemudian ada perubahan atas peraturan tadi. Misalnya peraturan soal kewajiban agama yang dipaksakan diterapkan kepada penduduk yang terdiri dari beragam kepercayaan. Jelas itu tidak logis dan menyalahi tata pembuatan (pembentukan) peraturan perundang-undangan.
Aturan Larangan Mudik 2021
Mudik 2021. Sudah keluar Peraturan Pemerintah, yang dalam hal ini diserahkan kepada Satuan Tugas Penanganan Covid-19Â (selanjutnya disebut Satgas Covid-19).Â
Tidak satu, tapi ada juga addendum alias tambahannya. Peraturan ini berupa Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.
Salah satu poin di dalam aturan ini adalah pemberlakuan periode larangan bagi masyarakat untuk melakukan mobilisasi dengan moda transportasi apapun. Larangan ini, ditetapkan untuk mencegah terjadinya lonjakan kasus corona COVID-19 di Indonesia, jelang Hari Raya Idul Fitri 2021.
Pada Addendum SE Satgas Covid-19 tertanggal 21 April 2021 ini mengatur perubahan waktu. Dari yang semula berlaku mulai 6 hingga 17 Mei 2021. Sekarang ada penambangan sebelum dan sesudah masa tersebut. Ada tambahan larangan mobilisasi dari tanggal 22 April-5 Mei 2021 hingga 18 sampai 24 Mei 2021.
Pengecualian: Masalah Baru
Aturan yang dikeluarkan tersebut memang menimbulkan ketidaknyamanan di sebagian kalangan masyarakat. Mau mudik tapi tak bisa, karena ada larangan.
Tak berakhir di situ saja "gejolak/keresahan" timbul. Rupanya lewat ucapan Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin yang menginginkan adanya dispensasi kepada santri untuk bisa mudik, menjadi 'polemik' baru. Permintaan ini bukankah seolah sedang "menabrak" aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sendiri?
Terlepas ada kisah lain di dalamnya, bahwa seruan itu usulan dari salah satu ormas keagamaan dan Wapres hanya menyampaikan 'titipan' permintaan tadi. Tetapi pernyataan Wapres yang menjadi judul berita media arus utama tersebut, bisa menjadi bumerang dalam penegakan aturan hukum di Indonesia. "Mengapa ada yang bisa diistimewakan? Mengapa ada perkecualian?" Sederet tanya muncul.
Logikanya, Indonesia bukan negara kerajaan atau monarki. Tidak ada lagi "sendika dawuh" ala raja, yang tutur katanya adalah sebuah hukum. Bukan pula ini negara kekaisaran. Saat Kaisar membuat aturan, lalu seolah ada Ibu Suri yang bisa mengingkarinya sendiri. Ada 'matahari kembar' dalam tubuh pemerintahan.
Meskipun permintaan tersebut [sepertinya] hanya secara lisan, namun dalam kenyataan lapangan, di tanah Jawa sendiri, gubernur Jawa Barat dan Jawa Timur amat responsif terhadapnya. Mengamini dan segera mengeksekusinya. Sementara gubernur Jawa Tengah tetap berlandaskan pada aturan yang tertulis tadi.
Prinsip Hukum Dasar
Dalam hukum tata negara (HTN) atau administrasi negara (HAN), sebuah peraturan memang ada kalanya memiliki sedikit "kelonggaran". Artinya, aturan yang dibuat tadi tidak zakelijk (sakleg) begitu. Terkadang memang ada dispensasi atau juga diskresi. Hal-hal yang bisa dikecualikan. Tetapi ini juga memiliki prasyarat yang juga tidak mudah. Tetap ada rambu-rambunya.
Demikian juga pada dua aturan larangan mudik yang diatur dalam SE Satgas Covid-19 dan addendumnya. Terdapat "pengecualian terbatas" secara jelas yang diatur di sana. Bahwa perjalanan yang diperbolehkan beroperasi adalah kendaraan pelayanan distribusi logistik dan pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik, antara lain:
- Bekerja/perjalanan dinas
- Kunjungan keluarga sakit
- Kunjungan duka anggota keluarga meninggal
- Ibu hamil yang didamping oleh 1 orang anggota keluarga
- Kepentingan persalinan yang didampingi maksimal 2 orang
- Kepentingan nonmudik tertentu lainnya yang dilengkapi surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah setempat.
Nah, pelulusan permintaan secara lisan, selain bisa menabrak "aturan main" yang telah ada dan tertulis jelas di atas, juga tentunya menimbulkan "kecemburuan sosial".  Bukankah WNI itu  bukan cuma santri, sehingga harus diistimewakan dan perlu m mendapatkan perlakuan khusus?
Adanya perlakuan dan pembedaan golongan dalam kedudukan warga negara yang sama di mata hukum, jelas hal ini akan menjadi preseden buruk di lain waktu ke depannya.
Kondisi ini tentu juga dapat menjadi sarana kontraproduktif berupa isu post-truth (pasca kebenaran). Mengarah pada situasi politik birokrasi yang jadinya terkesan ingin berjalan sendiri.
Belum lagi masalah sosial yang dikhawatirkan seperti yang terjadi pada 4x libur panjang di tahun 2020 lalu. Tentu, kita sepakat, pengalaman adalah guru terbaik. Kalau sudah tahu begitu, bukankah memang mencegah lebih baik daripada mengobati?
           Â
4 Mei 2021
Hendra Setiawan
*) Catatan:
Dispensasi dalam pandangan hukum adalah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang menolak perbuatan tersebut. Tujuannya adalah untuk menembus rintangan yang sebetulnya secara normal tidak diizinkan. Jadi dispensasi berarti menyisihkan pelanggaran dalam hal khusus atau tertentu.
Pengertian senada dari dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat, yang merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Namun, penggunaannya harus oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan tujuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H