Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Paskah Dini Hari, Tradisi yang Hilang (2/2)

4 April 2021   18:00 Diperbarui: 4 April 2021   18:01 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bingkisan telor Paskah dari panitia pada ibadah Paskah di hari Minggu ini (foto: Samsul Hadi dan dok. pribadi)

Kehidupan di kota jelas tak seperti di desa yang tak terlalu padat dan bisa guyub (menyatu). Maklumlah, karena kondisi atau letak rumah warga jemaat yang bisa saja menyebar di banyak kecamatan dalam satu kota atau sekitar daerah perbatasan. Jadi, mengadakan acara Paskah dini hari, seakan juga menjadi tantangan tersendiri. Tetapi kalau sudah niat, ya, bisa-bisa saja.

Pengalaman ini berlangsung di salah satu Jemaat dari GKJW (Greja Kristen Jawi Wetani) Mulyosari, Surabaya. Letaknya di daerah timur, dekat dengan pantai Kenjeran.

Paskah di Kota

Dewi malam, kala itu (16 April 2006) tampak meredup wajahnya. Tak jauh berbeda pada saat sekarang yang juga masih sering diliputi hujan.

Malam penantian akan peringatan kebangkitan Yesus, ditandai dengan turunnya hujan lokal yang bersifat sporadis (menyebar di tempat berbeda dan dalam waktu yang tidak tidak bersamaan). Rasa cemas pun sempat mengiringi langkah langkah panitia, yang tengah mempersiapkan acara Paskah.

Maklum saja, kegiatan ini dilangsungkan outdoor. Tidak di dalam gedung gereja, tapi di luar ruang terbuka. Syukurlah, guyuran hujan deras berlangsung tak sampai jauh larut malam.

"Hai ... Kleopas, bangun!"

"Iya, Pak, ini sudah bangun."

Hari masih pagi. Jam menunjukkan pkl. 03.40 WIB. Tampak kesibukan di salah satu keluarga yang ketiban sampur, ditunjuk ikut bermain drama.

Pkl. 04.00 WIB lewat, jalanan pinggiran kota Surabaya masih teramat lengang. Beberapa panitia melaju, menuju lokasi pelaksanaan Ibadah dan Perayaan Paskah tersebut.

Tak tanggung-tanggung, lokasi yang dipilih, tepat di bibir pantai kawasan wisata Kenjeran. Nama ini kadang diplesetkan menjadi 'Paris' alias Pantai Ria (Kenjeran) Surabaya. Hitung-hitung, biar sekalian nanti juga bisa melihat keindahan sunrise (matahari terbit).

Di gedung terbuka, di kawasan yang dibangun ala pecinan itu, tampak kesibukan panitia berbenah diri. Mempersiapkan sound, menata tikar dan sejenisnya. Sementara, para personil: pemain dan pendukung acara drama bersiap-siap menantikan saatnya 'pentas'.

Beberapa warga yang telah datang, oleh panitia tidak diperkenankan untuk memasuki tempat digelarnya acara. Mereka harus sabar dan rela lesehan atau berdiri, menanti berada di sepanjang ruas jalan yang memang dipersiapkan sebagai acara permulaan.

Akhirnya ... pkl. 04.20 WIB, setelah dirasa siap, acara pun segera dimulai. Adegan Yesus dan tiga iblis mengawali penampilan. Berolah gerak dan berolah rasa. Sebuah prosesi awal, penggambaran akan pergumulan Yesus di alam maut.

 "Bumine goyang, bumine goyang, akeh lindune ... Bumine goyang, bumine goyang, Gusti wus wungu ...," terdengar suara nyanyian yang dikumandangkan. Bahasa Indnesianya, "Bumi bergoncang, banyak kejadian gempa. Tuhan sudah bangkit."

Secara bersahutan, kisah ini, oleh jemaat diamini dengan sebuah pujian "Kristus Bangkit, Soraklah!". Gelaran ini lantas ditimpali dengan pujian yang dilantunkan oleh anak-anak.

Dalam kegelapan langit pagi itu, lantas jemat yang hadir 'digiring' oleh para pemain drama, sembari memegang obor, menuju lokasi 'sebenarnya'. Adengan pemeran Maria, para wanita dan murid-murid Yesus yang lain, masih tetap dalam rangkaian drama. Mencoba menggambarkan kisah kebangkitan Minggu pagi.

Pada arena gedung tontonan terbuka, yang dihiasai banyak ornamen Cina ini, acara pun dilanjutkan kembali. Sementara jemaat menggelar tikar sebagai alas duduk atau menata kursi, para pemain menju ke panggung. Kembali, di sana mereka berkisah tentang kebenaran kabar kebangkitan Yesus yang telah bangkit.

Kubur Yesus yang kosong, menjadi bahan 'perdebatan'. Antara rasa percaya dan tidak, masih menggelayuti alam pikiran para murid. Maria, Salome, Petrus, Kleopas, Tomas dan murid yang lain; punya argumen masing-masing.

Hingga ... Yesus pun pada akhirnya tampil, menampakkan diri kepada para murid-Nya. Memarahi dalam kasih, memberi keyakinan dan kesaksian: Ia sudah bangkit dan ada bersama dengan mereka.

Tampilan Paduan Suara (Padus) juga turut mengisi dalam acara ini. Sesuatu yang mungkin tak bisa lagi dikerjakan selama masa pandemi seperti ini. Jaga jarak, pakai masker; menjadi salah satu tantangan agar Padus sebagai bagian dari prosesi, bisa tampil kembali.

Padus virtual sebagai alternatif, membuatnya juga tidak mudah. Butuh proses yang juga panjang. Walaupun hasilnya setelah melalui tahapan editing, juga bisa elok dan menawan.

Tentu saja yang tak terlewat sebagaimana sebelumnya (Paskah di Desa), mencari telor bersama adalah sarana sukacita bersama. Khususnya kepada anak-anak yang menjadi subjek acara. Mengajarkan pemahaman iman melalui benda yang ada di sekitar mereka.

Paskah Kini

Bersyukur juga, rangkaian kegiatan Paskah tahun ini sudah bisa dilakukan dengan offline (tatap muka). Tetapi yang online masih terus pula diselenggarakan. Berbeda dengan tahun lalu yang full online. Bubar semua kegiatan yang sudah jauh sebelumnya telah disusun. Covid-19 hadir dalam suasana Prapaskah 2020.

Ya, Paskah tahun ini memang sudah mulai dapat dilakukan seperti biasa. Namun dengan jumlah hadirin yang terbatas. Pun demikian acara yang digelar, tak bisa lama-lama lagi. Kalau dulu 1,5-2 jam masih tergolong 'normal' untuk kegiatan insidentil. Sekarang, satu jam saja tak sampai. Hanya berdurasi 45-50 menit.

Kegiatan besar, akbar, yang bisa melibatkan kerumunan massa, sekarang tak bisa lagi diselenggarakan. Bahkan untuk bersalaman, berjabat-tangan pun sudah tak dapat lagi dilakukan. Berganti dengan dekapan dua tangan sendiri yang ditujukan pada orang yang disapa.

Kalau sapanya, masih bisa. Tapi senyumnya jadi tertutup masker. Ya, begitulah, mau tak mau 'era baru' yang wajib dijalani.

Kini, kegiatan Paskah dini hari, seakan mati suri. Pandemi belum akan berakhir dalam jangka waktu yang pendek.

Sekarang, juga tak dapat melihar dan merasakan cerianya anak-anak saat mendapatkan telor Paskah. Beradu cepat dan cerdik mendapatkan telor dan hadiah kejutannya.

Tapi mungkin kalau ada yang wilayahnya relatif 'aman', bisa juga diadakan. Entahlah, tidak bisa lagi keliling ke mana-mana seenaknya. Jadi informasinya juga via media sosial.

Demikianlah 'era baru', yang mau tak mau tetap harus dijalani. Tetapi yang tak pernah berubah adalah warta sukacita Paskah. Kematian-Nya untuk penebusan dosa. Kebangkitan-Nya memberikan pengharapan dan jaminan kehidupan kekal di sorga kelak. Bagi siapa saja yang mau menerima Kabar Baik yang telah diberitakan oleh Yesus Kristus.

Bingkisan telor Paskah dari panitia pada ibadah Paskah di hari Minggu ini (foto: Samsul Hadi dan dok. pribadi)
Bingkisan telor Paskah dari panitia pada ibadah Paskah di hari Minggu ini (foto: Samsul Hadi dan dok. pribadi)
Selamat merayakan hari kebangkitan, hari Minggu Paskah buat Saudara/i yang merayakannya.

Selamat berbahagia juga kepada yang lainnya....

4 April 2021

Hendra Setiawan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun