Paskah dini hari. Ya, begitulah salah satu tradisi perayaan Paskah yang digelar oleh umat kristiani. Berkumpul bersama di dalam gedung gereja, atau mengambil tempat di tanah lapang, atau di tempat lain yang telah ditentukan.
Waktunya dini hari? Iya, benar. Ini dilakukan agar suasana yang tergambar dalam Kitab Suci juga bisa dirasakan. "Pagi-pagi benar, murid Yesus pergi berangkat ke kubur Yesus."
Narasi itulah yang hendak dirasakan pula oleh umat tatkala ingin merayakan Paskah. Tetapi di masa pandemi ini, sepertinya tradisi seperti ini sudah tak bisa lagi dijalankan sepenuhnya. Atau, kalaupun memungkinkan, daerahnya masuk zona hijau . Atau dengan tetap mematuhi Protokol Kesehatan amat ketat. Tapi, sepertinya kecil kemungkinan ini. Jadi, hanya kenangan yang pernah dialami, yang masih bisa membekas di hati.
Bagaimana prosesi perayaan menyambut Paskah di desa dan di kota terhadap perayaan Paskah dini hari ini? Dua pengalaman yang pernah saya ikuti ini biarlah menjadi momen kenangan yang layak untuk tetap diingat.
Paskah di Desa
Hari itu (23 Maret 2008), masih cukup pagi benar. Waktu masih menunjukkan pukul 03.20 WIB. Tapi, bunyi lonceng gereja yang bertalu-talu memecah kesunyian. Bunyi teng ... teng ... teng ... begitu membahana. Bagai sebuah deklarasi, "Cepatlah bergegas, karena pada hari ini Gusti sampun wungu. Nggih, saestu, Gusti sampun wungu (Tuhan sudah bangkit. Benar, sungguh! Tuhan sudah bangkit )."
Dan, memang benarlah demikian. Tak lama kemudian, satu demi satu warga Pasamuwan (Jemaat) dari GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan) Bongsorejo, Jombang pun berdatangan. Sebagian besar mereka datang secara bersama-sama.
Tarian oncor (obor) yang dibawa anak-anak, dalam gelapnya pagi menaburkan nuansa yang sedikit berbeda. Meski tak terlihat akbar (tak sampai ratusan), tapi panggilan ibadah pada pagi-pagi benar ini tetap menjadi sebuah keistimewaan tersendiri.
Selain yang pasti dengan acara ibadah bersama, rangkaian Paskah hari itu juga diisi dengan kegiatan mencari telor bersama, khususnya bagi anak-anak. Telor ini adalah simbol kehidupan dari kematian. Dari sebutir telor yang mati, bisa melahirkan anak ayam yang baru. Demikian juga memaknai Paskah. Yesus memang pernah wafat di hari Jumat, tapi di hari Minggu, Dia bangkit kembali. Menuntaskan misa karya penyelamatan dan penebusan dosa.
Sebelum puncak kegiatan bersama ini, aktivitas lain yang digelar panitia antara lain adalah aksi sosial dengan mengunjungi orang sakit dan para lansia. Mereka yang kondisi fisiknya tak memungkinkan lagi datang ke gereja. Perhatian kepada manusia-nya, bukan cuma sekadar memberi bantuan secara fisik.
Â
Paskah KiniÂ
Saya kurang tahu pasti, apakah pada masa pandemi seperti sekarang ini, kegiatan Paskah dini hari masih memungkinkan ataukah tidak dilaksanakan di desa. Sudah tak mudah untuk 'main-main' (dolan, berkunjung) seperti dulu.
Prosesi lain sepanjang yang diketahui penulis, selain yang tertera di atas, adalah aksi "Jalan Salib" yang turut digelar. Kalau ini bukan cuma di kota, di desa pun juga bisa terlaksana.
Tapi, pada kurun waktu tahun-tahun belakangan, mulai ada keinginan kembali agar dua denominasi dalam agama Kristen ini bisa "menyatu" kembali. Sebut saja misalnya peringatan hari "Rabu Abu" atau "Minggu Palma". Sekarang diangkat dan dipertegas kembali perayaannya.
Pun demikian dengan peringatan Trihari Suci dalam Pekan Paskah. Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci/Sunyi. Plus Minggu Kebangkitan (Paskah) yang dirayakan hari ini.
Begitu dulu, biar tidak panjang-panjang, berlanjut di bagian kedua: "Paskah di Kota."
Â
4 April 2021
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H