Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Monumen "Peniwen Affair", Pengakuan Dunia atas Perjuangan PMR

18 Maret 2021   18:00 Diperbarui: 18 Maret 2021   18:26 3277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompleks monumen dan makam Peniwen Affair (foto: Gigih Mazda, tugumalang.id via kumparan.com)

"Gunung Kawi? Mau mencari pesugihan?"

"Haha, enggaklah..."

Ya, Gunung Kawi di Kabupaten Malang. Nama ini memang lekat dengan cerita mistisnya. Pada salah satu lerengnya, terdapat salah satu desa wisata bernama Peniwen. Sudah ada angkutan umum yang melakukan perjalanan PP. Namun, harus tahu juga kapan jam-nya supaya tidak kecele.

Peniwen adalah salah satu desa yang mayoritas penduduknya hampir 100% Kristen. Warganya masuk dalam komunitas GKJW  (Greja  Kristen Jawi Wetan). Gereja lokal yang hanya ditemui di wilayah Jawa Timur. Meskipun awalnya memang untuk suku Jawa, tapi kini sudah bercampur-baur, terbuka bagi golongan etnis manapun.

Tradisi budaya unik yang masih terjaga sejak desa yang berdiri tahun 1880 itu adalah 'Keleman.' Salah satu proses dari masa bercocok tanam, yaitu menggenangi lahan sawah dengan air. Biasanya dilakukan pada bulan Oktober.

Menurut Sejarah Desa Peniwen, namanya diambil dari kata “Peni”, yang adalah singkatan dari kata nyimpen atau tempat menyimpan. Ditambah kata “Wen”, sebagai kependekan dari kata deduwen, yang artinya kepemilikan berupa benda atau barang.

Luas wilayahnya sekitar 717 hektare. Pembagian lahannya adalah 233,508 hektare digunakan sebagai tanah sawah, 398,942 hektare digunakan sebagai tegal, 75 hektare digunakan sebagai pekarangan, dan sisanya 18 hektare digunakan untuk kebutuhan lainnya.

Kesan Tak Terlupa

Live in, atau tinggal bersama di rumah penduduk. Pertama, era tahun 2000 ke sini, kalau tak salah. Ini menjadi pengalaman bersama, yang ada salah satu peristiwanya cukup membekas hingga sekarang. Bahkan sering juga dibuat lelucon.

Ceritanya, waktu itu bersama-sama rombongan sejumlah besar orang datang ke sini. Sekitar 100 orang lebih. Selain mengadakan acara bersama dalam bidang kerohanian, pun juga melakukan bakti sosial.

Pada urusan akomodasi (penginapan), peserta yang ikut dibagi-bagi per kelompok kecil. Lokasi yang dekat tentu saja buat panitia dan putri. Buat yang putra lokasinya agak jauh dari pusat kegiatan, yang ada di gereja yang ada di pojokan jalan perempatan utama (lihat foto).

Masing-masing kelompok tinggal, lalu dipimpin oleh warga setempat menuju pada rumah kediaman masing-masing. Jadi tugasnya mengepalai rombongan dan menunjukkan kepada si pemilik rumah, siapa atau berapa orang yang akan menginap di sana.

Setelah tugas menghantar kelompok putri selesai, berlanjut ke kelompok putra. Awal-awal tentu saja semua bersemangat. Pengalaman baru, sambil melihat-lihat rumah dan pemandangan. Sesekali pemandu jalan bertepur sapa pada warga. “Ke mana? Ke rumah Pak A atau Bu B.”

Sembari bercerita tentang desanya, bagaimana cara hidup mereka, juga saling melontarkan pertanyaan. Berhubung merasa tidak sampai-sampai tujuan, salah seorang teman bertanya. “Pak, masih jauh?”

“Ah, nggak, kok. Sudah kelihatan depan situ,” sembari mendongakkan kepalanya ke arah tujuan. Lalu berlanjutlah jalan-jalan hingga pada tujuan.

Setelah berbasa-basi dengan tuan rumah dan beristirahat melepas lelah sejenak, karena sore menjelang malam itu harus berkumpul lagi, obrolan canda lagi-lagi terjadi. “Wah, Bapaknya tadi keterlaluan. Masak jaraknya segini dibilang dekat,” seakan protes.

Maklumlah lokasi desa ini tidak saja terdiri jalan datar, tapi juga lokasi menginapnya ada yang berada pada posisi lebih tinggi. Jadi dengan jalan agak menanjak, bisa membuat kaki pegal. “Iya, gunungnya juga kelihatan. Dekat kok...” Hahaha...

Sejak itulah kami membuat kode khusus kalau merujuk jaraj dekat atau jauh yang ditunjukkan warga desa. Lihat saja cara mereka mendongakkan kepala  dalam menunjukkan jarak. Kalau makin ke atas berarti jarak dekatnya makin jauh. Jadi siap-siap mental saja. Hehe, ada-ada saja...

Kompleks monumen dan makam Peniwen Affair (foto: Gigih Mazda, tugumalang.id via kumparan.com)
Kompleks monumen dan makam Peniwen Affair (foto: Gigih Mazda, tugumalang.id via kumparan.com)
Sejarah Perjuangan Tersembunyi

Baik, cukup dulu intermezzo basa-basinya. Sekarang berlanjut pada kisah utamanya.

Pada mula berdirinya di bawah pimpinan Kiai Sakejus bersama 20 orang lain membuka hutan (17 Agustus 1880), nama baru yang diberikan adalah Dukuh Krajan, yang bergabung dengan Desa Kromengan. Baru kemudian pada 1895, terjadi perubahan administrasi. Dukuh Krajan lalu berkembang menjadi desa terpisah, yang bernama Desa Peniwen.

Cerita heroik dari Desa Peniwen bermula dari sejak adanya agresi militer II. Saat dimulainya KNIL melakukan upaya penyerangan ke Kediri melalui Blitar.

Pasukan KNIL pada waktu masuk perbatasan Malang dan Blitar, mereka selalu mengalami kendala terkait adanya gerilyawan yang berada di kawasan tersebut. Lalu tentara KNIL melakukan upaya pembersihan di wilayah yang dimaksud.

Salah satu lokasi yang menjadi sasaran termasuk adalah Desa Peniwen, yang pada waktu itu memiliki Rumah Sakit (Panti Husada; sekarang menjadi SD) yang dikelola oleh gereja. Dugaan KNIL, tempat itu menjadi markas dari tentara dan para warga pejuang. Maka serangan ‘brutal’ pun dilakukan di sana.

Tidak saja plang papan nama, isi ruangan dan koleksi obat-obatan yang tersedia, diobrak-abrik. Pun demikian tindakan yang dilakukan KNIL kepada para tawanan, yang dalam hal ini kebanyakan petugas medisnya.

Aksi keji dilakukan dengan cara mengumpulkan mereka dan memisahkan pria dan wanitanya. Kelompok pria diborgol dengan tali kabel dulu sebelum dibunuh bersamaan (dijajar di tembok RS). Sedangkan bagi yang wanita dibiarkan hidup tapi tentara melakukan pemerkosaan kepada mereka.

***

Dalam catatan lain, sebetulnya pada 16 Januari 1949, kali pertama  pasukan Belanda itu datang. Mereka menangkap, menganiaya warga, dan membunuh anggota Corp Polisi Militer. Kedatangan kedua terjadi pada 31 Januari 1949, kali ini sasaran amuk kepada sang kepala desa, Arjo Wibowo.

Hingga puncaknya yang terjadi pada  19 Februari 1949 itu. Satuan militer Belanda yang diperkirakan berjumlah satu kompi menyerang Desa Peniwen. Karena tidak menemukan pasukan gerilya yang dimaksud sama sekali, mereka kemudian melampiaskan amarah kepada para anggota PMR, serta pasien yang juga merupakan anggota Brigade 16 Kawi Selatan.

Aksi kekerasan ini tentu saja mendapar protes keras. Secara internal, GKJW Peniwen melalui Ds. Martodipuro (Ds. = Dominus, pendeta), lalu mengirimkan surat pengaduan kepada sinode (pusat lembaga keagamaan) yang berada berada di kota Malang itu. Surat itu lalu diteruskan WCC (dewan gereja dunia). Lalu mereka mengutus 5 wakilnya untuk mengecek kebenarannya. Setelah tiga bulan bekerja untuk mencocokkan data dan mencari kebenaran fakta, didapati kesimpulan ternyata terbukti benar laporan tersebut.

***

Cerita versi lain, kabar terkait peristiwa berdarah di Desa Peniwen ini juga disampaikan kepada komandan tertinggi militer Jawa Timur dan terdengar hingga Negeri Belanda. Banyak media Belanda yang kemudian membahas seputar peristiwa berdarah di Peniwen tersebut. Protes dari kalangan parlemen pun bermunculan.

Surat yang menceritakan tragedi pembantaian anggota PMR ini akhirnya meluas ke berbagai negara. Dukungan peristiwa yang disebut Peniwen Affair juga datang dari Perancis, Swiss, Argentina, Jerman hingga Inggris. Negara-negara dunia itu menekan dan memaksa Belanda untuk menghentikan agresinya.

Konvensi Jenewa tahun 1949 mengisyaratkan bahwa anggota Palang Merah masuk dalam kategori yang tak boleh diserang. Maka, praktis, Belanda telah melanggar konvensi dan secara resmi dinyatakan telah melakukan kejahatan perang.

Sumber: medcom.id
Sumber: medcom.id
Sejarah yang Tak Boleh Dilupa

Kemarin (17/3) menjadi peringatan dari Hari Perawat Nasional. Mengingat jejak sejarah, tak salah jika situs Peniwen Affair ini juga menjadi pengingat kembali.

Pasca kejadian yang merenggut korban nyawa anggota PMR, sebenarnya juga belum berhenti sama sekali. Pasca kejadian,  Belanda ingin membalas dendam akibat surat laporan yang membuat namanya tercoreng. Paling tidak hingga November di tahun itu juga, rentetan peluru masih terdengar. Belanda seakan ingin membersihkan nama baik dengan cara membuat laporan ada aksi tembak-menembak di Desa Peniwen.

Di Desa Peniwen, kini telah berdiri tetenger berupa monumen. Monumen ini berdiri juga sebagai bagian dari catatan sejarah Palang Merah Remaja (PMR). Satu-satunya yang ada di Indonesia, dan satu dari dua yang ada di dunia, Pengakuan dunia internasional atas gugurnya 12 anggota PMR dan masyarakat Desa Peniwen. Kejadian berdarah yang puncaknya terjadi pada 19 Februari 1949.

Gagasan berdirinya Monumen Peniwen Affair, diprakarsai pada masa jabatan Bupati Malang, Edy Slamet. Dana gotong-royong dari AMPI dan masyarakat Peniwen. Pembangunan awal dimulai dari peletakan batu pertama dilakukan pada 11 Agustus 1983 oleh bupati sendiri. Peresmiannya dilakukan oleh Pengurus Besar PMI, Marsekal Muda Dr. Sutojo Sumadimedja pada 10 November 1983. Sedangkan pada lokasi tempat gugurnya 12 pemuda itu, diresmikan menjadi Jalam PMR oleh Ketua PMI Pusat, Jusuf Kalla pada 15 Januari 2011.

Kejahatan perang tentara Belanda terhadap Palang Merah, mendapat pengakuan dari badan PBB. Melalui UNESCO, mereka mengakui bahwa Peniwen Affair adalah warisan sejarah dunia dari era perang dunia.

Kalau melihat lebih dekat, area di sekitarnya memang terdapat beberapa makam dari para korban Peniwen Affair tersebut. Pada monumen terukir nama-nama: Slamet Ponidjo Inswihardjo, JW Paindong, Suyono Inswihardjo, Wiyarno, Roby Andris, Kodori, Matsaid, Said, Sowan, Sugiyanto, Nakrowi, dan Soedono.

Bagi warga Desa Peniwen, mengabadikan nama jalan salah satu pejuang itu juga menjadi salah satu cara untuk mengingat dan menghargai jasa mereka. Misalnya di sebelah selatan gereja, ada ruas jalan bernama Paindong.

Sayang, sejarah berharga seperti ini kalau hanya terekam pada mereka yang melakoni dan orang-orang yang berminat dan pegiat sejarah. Mestinya untuk semua warga negara mencintai tanah airnya...

18 Maret 2021

Hendra Setiawan

*) Cerita sejarah dikumpulkan dari beragam sumber 

**) Tulisan berseri terkait sebelumnya:

Artikel: Perawat, yang Dicinta tapi Terlupa 

Puisi: Terima Kasih Perawatku 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun