Sore ini, pandangan mata tertuju pada sekumpulan berita utama seperti dalam tangkap layar di atas. UNESCO, PANDI, hingga trending topic di linimasa twitter (baca tulisan sebelumnya berjudul Save Aksara).
Awalnya tak paham. Sampai scrolling cuitan warganet pun demikian. Hanya deretan kata-kata dukungan semata. Ada apa dengan tagar Save Aksara tersebut?
Seperti biasa,akhirnya berkelanalah sendiri ke berbagai situs untuk mencari tahu agar lebih jelas. Dan demikianlah cerita yang bisa disusun ulang.
Digitalisasi Aksara
Grand launching program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN) sebenarnya sudah terselenggara pada Sabtu, 12 Desember 2020 lalu. Peresmian ini dilakukan bersama antara PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia) dan didukung oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization).
Pada Januari 2021, sudah ada 7 aksara daerah yang sedang dalam proses digitalisasi, yaitu Jawa, Sunda, Bugis (Lontara), Rejang, Batak, Makassar, dan Bali. Sedangkan 20 aksara daerah lain, menunggu untuk di-digitisasi. Digitisasi sendiri adalah langkah menghadirkan aksaranya.
Digitisasi Aksara di Unicode sendiri adalah suatu standar teknis pengodean internasional mengenai teks dan simbol dari sistem tulisan di dunia untuk ditampilkan pada komputer, laptop, atau ponsel.
Unicode adalah standar dalam dunia komputer untuk pengodean (encoding) karakter tertulis dan teks yang mencakup hampir semua sistem penulisan yang ada di dunia. Dengan Unicode, pertukaran data teks dapat terjadi secara universal dan konsisten.
Pengembangan digitalisasi aksara ini bekerja sama dengan para akademisi. Misalnya, aksara Sunda, bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Padjadjaran. Aksara Jawa melibatkan Universitas Gadjah Mada. Aksara Bali bermitra dengan Universitas Udayana.
Secara khusus, untuk proses digitalisasi aksara Jawa telah mencapai tahap pendaftaran ke asosiasi internet global ICANN. Setelah terdaftar, baru aksara tersebut dapat digunakan di internet. Menggandeng UNESCO dilakukan agar proses ini dapat berjalan lebih cepat.
Tentu, upaya PANDI dalam melakukan digitalisasi aksara nusantara ke dalam format Internationalize Domain Name (IDN) perlu untuk mendapat dukungan berbagai pihak.
Keberadaan IDN di era digital saat ini dirasa penting, mengingat pertumbuhan pengguna internet dunia semakin besar. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia sudah terbiasa memakai huruf latin untuk menulis atau mengetik. Maka, ke depan, bukan tidak mungkin, aksara daerah Indonesia bisa punah.
Kekuatiran akan hal tersebut, perlu membuat sebuah wadah agar bahasa ibu bisa terus dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satunya adalah program khusus bertajuk MIMDAN tadi.
Pada laman situs Indonesia.go.id menerangkan, sejak abad ke-15, aksara Nusantara berkembang pesat. Hal itu ditandai dengan beragamnya aksara untuk menuliskan berbagai bahasa daerah. Namun, perannya mulai tergeser oleh abjad Arab dan alfabet Latin. Penggunaan aksara Nusantara mengalami penurunan pada pertengahan abad XX dan hanya diterapkan dalam konteks terbatas.
Setidaknya, terdapat 12 aksara daerah yang merupakan bagian dari kekayaan kesusastraan dan budaya Indonesia. Ke-12 aksara lokal tersebut adalah aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).
Sebagai timbal balik kerjasana, upaya digitalisasi aksara Nusantara gaungnya akan bertambah besar. Sebab, UNESCO turut mengundang Indonesia, dalam hal ini PANDI, Â untuk memaparkan program digitalisasi aksara Nusantara dalam satu forum di Paris, Prancis, November mendatang. Undangan ini diterima PANDI pada 3 Maret 2021
Kegiatan ini berisikan laporan tentang implementasi atau pencapaian yang terkait dengan rekomendasi bidang pendidikan, budaya dan salah satunya adalah terkait rekomendasi bahasa daerah.
Konferensi Umum UNESCO telah mengakui pentingnya mempromosikan multibahasa dan akses yang adil ke informasi dan pengetahuan, terutama di domain publik. Mereka akan mengajak negara anggotanya untuk mendukung mereka mengenai pengembangan informasi multikultural.
Sejalan dengan proyek ini, pada tahun 2022-2023 ditetapkan sebagai Dekade Internasional Bahasa Pribumi.
Sebagai suku terbesar di Indonesia (40 % dari 1.331), aksara Jawa sebenarnya masih terbilang lumayan dari segi penggunanya. Meskipun kebanyakan yang fasih memakainya dari golongan usia senja.
Demikianlah, upaya digitalisasi aksara Jawa yang diajukan PANDI ke lembaga internet dunia, Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) justru mengalami penolakan. Pendaftaran aksara Jawa ini dilakukan sejak Juli 2020.
Ada tiga alasan penolakan. Pertama, bahasa Jawa belum masuk sebagai bahasa administratif Indonesia di ISO 3166-1, Kedua, ICANN melihat belum cukup bukti bahwa aksara Jawa lazim digunakan oleh seluruh atau sebagian masyarakat Indonesia. Ketiga, status aksara Jawa di UNICODE saat ini masih masuk dalam kategori 'Limited Use Script,".
Menanggapi hal inilah maka muncul tagar #SAVEAKSARA di media sosial twitter (4/3/'21), yang kemudian menjadi trending topic. Memang disayangkan dengan adanya penolakan ini. Tetapi dukungan terhadapnya juga perlu dilakukan.
Cara termudah barangkali seperti yang sudah disarankan, yaitu dengan mengunduh salah satu dari beragam aksara nusantara yang sudah ada bentuk digitalnya. Entah itu di PC (personal computer), laptop, atau handphone. Bertambahnya jumlah pengguna, tentu akan menaikkan rangking pemakai aplikasi.
Yuk, bersama dukung upaya ini. Jangan sampai aksara warisan leluhur ini kelak hanya bisa disaksikan lewat museum karena hanya tinggal cerita. Cerita yang tidak indah untuk didengarkan.
11 Maret 2021
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H