Setali tiga uang, judul itu seperti juga peribahasa habis manis, sepah dibuang. Makhluk cantik bernama perempuan seringkali cepat menjadi viral. Keterkenalannya secara mendadak. Singkat semata, sebanding dengan masa jayanya. Apalagi jika viralnya itu semata-mata berkaitan dengan bodi, postur, wajah atau hal hal fisik lain yang terkait dengan sosok perempuan.
Berbeda dengan perempuan yang berkarya, berjuang dalam usahanya sejak bertahun-tahun lamanya. Keterkenalannya di masa sekarang, dipuja dan dikagumi berkat keuletannya dan kerja kerasnya. Viralnya dia karena karya yang tengah digelutinya.
Mendadak viral, barangkali begitu kesan yang bisa disajikan dalam pemberitaan. Sudah berapa kali dan berapa banyak viral yang terjadi hanya gegara perempuan cantik. Mulai dari profesi pengamanan seperti polisi, satpam, pengawal kepresidenan. Begitu fotonya menyebar lewat media massa atau jalur online, wah... ramainya luar biasa. Pujian atas kecantikannya begitu melangit.
Begitupun misalnya profesi kasir, penjaga toko, penjual nasi, dan berbagai hal lain. Ataupun seseorang yang terabadikan dalam suatu peristiwa, misalnya korban banjir. Tak peduli siapa dia, bisa mendadak terkenal. Cepat menyebar kabarnya, dari satu platform media ke bentuk yang lain. Tetapi kejadian tersebut cepat pula menghilangnya.
Tidak dimungkiri, ada aktor lain dari keterkenalan mereka. Siapa lagi kalau bukan andil lelaki? Secara umum mereka termasuk makhluk yang suka berpetualang secara visual. Tapi bukan berarti lawan jenisnya tidak demikian. Sama saja, hanya secara porsi tidak banyak.
Mengkritisi secara adil dan berimbang, tentu akan lebih baik. Namun, berhubung hari ini, 8 Maret, diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional, tak ada salahnya jika mengupas dari sisi perempuan itu sendiri.
***
Ada banyak pertarungan wacana pada sisi perempuan. Eksistensi mereka kadang disadari oleh yang bersangkutan. “Saya sudah ‘dilabeli dan dibeli’ secara fisik semata”.
Tetapi yang terjadi: posisi diam, dan seolah berbangga atas popularitas tersebut. “Ini, lho, saya...”
Padahal popularitas dengan embel-embel (predikat) “cantik” jelas tidak menunjukkan sikap profesionalitas. Tentu, pernyataan ini bisa juga mengandung pro dan kontra. “Toh, bukankah yang sedap dipandang itu lebih enak untuk dinikmati?”
Ya, benar juga... Siapa yang tertarik jika tampilan secara visual hanya ala kadarnya; standar dan biasa saja. “Tapi, itu seolah-olah menunjukkan modal setor tampang doang. Justru soal kelebihan lain, potensi itu jadi tertutupi.”
Lebay (kenakak-kanakan)-lah yang mengatakan seseorang itu cantik atau tidak. Itu suka-sukanya orang yang memberi judul. “Cantik itu bukan talenta. Umurnya tak akan lama. Dia hanya beruntung tertangkap kamera.”
8 Maret 2021
Hendra Setiawan
*) Sebelumnya: Mengapresiasi Perjuangan Kaum Perempuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H