Kalau kata "tunggu" biasa dipakai kata "ngko", penggalan kata "mengko". Tapi kena logat bahasa arek Suroboyo, jadinya kata "kuk/kok" (lafal U atau O). Jadi kalau digabung, berujar, "kuk/kok sik". Tapi lebih afdol-nya dikatakan, "kok sik ta-lah..." Ada imbuhan "-lah"
Artinya, tunggulah sebentar; sebuah ungkapan permohonan agar tidak tergesa-gesa atau terburu-buru karena masih mengerjakan sesuatu yang belum selesai.
Kata "ngko" tidak terlalu bermasalah. Tapi kata "sik" itu yang menjadi perbedaan. Teman yang berasal dari Jombang, walaupun sebenarnya secara kultur bahasa sama, tetapi ada yang tidak sama juga. Kata yang dipakainya adalah "dilik"; pakai konsonan "eL" (seperti lemari).
Teman yang berasal dari Kediri lain lagi pembunyiannya. Ini lebih dimaklumi karena secara kultural, daerah ini termasuk 'matararam/pedalaman' (istilahnya memang menyebut demikian, red.). Ia memakai kata "dikik"; konsonan huruf "Ka" (seperti kompor).Â
Hehe... lucu ya kalau dibandingkan. Jadi misalnya ada orang keempat yang mengajak kita bertiga. "Ayo, cepetan..." (ayo, lekaslah...). Bisa tahu jawaban serempaknya? Satunya berkata, "Ngko dhisik!" Lainnya berkata, "Ngko dilik!" Satunya lagi berkata, "Ngko dikik!"
Ah, Indonesia memang indah dengan perbedaan... :)
***
Lain di konsonan, lain lagi juga dengan vokal. Pernah tinggal di kota Marmer, Tulungagung, ternyata di daerah ini lebih 'pakem' di dalam pembacaan istilah. Teman yang berasal dari Malang pun, logatnya ikut berubah, menyesuaikan diri ketika pindah kependudukan.
Misalnya adalah kata "adus" atau "wedhus". Kata dalam bahasa Indonesia itu artinya mandi dan kambing.
Bahasa Jawa punya tingkatan kelas dalam berbahasa. Wedhus adalah 'bahasa ngoko', untuk pergaulan yang setara. Bahasa 'krama madya' (baca: kromo), tingkat tengahan; untuk istilah kepada orang yang lebih tua adalah "Mendha". Sedangkan 'krama inggil' , tingkat yang tinggi; bahasa yang halus, istilahnya sama, yaitu "Mendha". Tapi kata ini jarang atau hampir tidak pernah diucapkan dalam pergaulan keseharian,
Di daerah ini, huruf "U" tetap dibaca sesuai ejaannya (seperti kamu). Tetapi di Surabaya, huruf "U" tadi sudah berubah menjadi "O" (seperti toko). Jadi membaca atau membunyikannya menjadi, "ados, wedhos".