Pengantar:
Tuilsan ini lanjutan dari artikel  Siswi Nonmuslim Wajib Jilbab di Sekolah Negeri? Tak Salah Ini?!       Â
Masih ingat kejadian pertengahan April 2018, ketika Rocky Gerung --dalam acara ILC (Indonesia Lawyers Club)- bilang kalau kitab suci itu fiksi? Sontak banyak orang kebakaran jenggot. Merasa merasa dilecehkan dengan pernyataan itu, ia dilaporkan pada pihak berwajib pada awal Februari 2019 oleh organisasi yang mengatasnamakan salah satu kelompok masyarakat.Â
Tapi karena berlatar belakang dosen filsafat Universitas Indonesia, gampang saja ia berdalih; seolah memutarbalikkan logika mereka yang mengkritiknya. "Si pelapor itu gagal paham beda antara fiksi dan fiktif," katanya. Menurutnya, fiksi adalah suatu energi untuk mengaktifkan imajinasi, sementara 'fiktif' cenderung memiliki makna mengada-ada.
Bermain kata, bermain logika, bisa pula kita terapkan pada kasus yang lagi viral hingga hari ini tulisan ini dibuat (28/1) setelah meledak pada Jumat (22/1). Pemakaian jilbab di sekolah negeri, tepatnya di SMKN 2 di Padang, Sumatera Barat.
Apa memang benar seperti yang dikatakan pihak sekolah, "Tidak ada paksaan, semua merasa nyaman."
Duduk Perkara
Peristiwa pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang (juga sekolah lainnya), permulaan awal bisa merujuk pada Instruksi Wali Kota Pada Nomor 452.442/BINSOS-iii/2005. Artinya, aturan ini sudah berjalan sekitar 15 tahun.
Jauh, dan sangat jauh. Sudah terjadi sedemikian lamanya. Dua windu jika dihitung tahun 2021 ini.
Boleh jadi, kalau meminjam istilah dalam sengkaeta pemilu, disebut sebagai "terstruktur, sistematis dan masif" alias TSM.
Terstruktur artinya dilakukan oleh pejabat struktural, baik struktur pemerintahan ataupun struktur aparatur sipil negara (ASN).
Sistematis dengan cara dilakukan dengan perencanaan yang matang, tersusun, dan rapi. Kalau dalam hal ini adalah dengan adanya aturan yang saling terikat dan terkait, yang dilakukan pejabat publik di tingkat lokal khususnya.