Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Walau Sebenarnya Biasa Saja, tapi Punya Karib Bule Itu Amboi Rasanya

25 Januari 2021   19:46 Diperbarui: 25 Januari 2021   19:50 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bule yang kemlinthi kayak Kristen Antoinette Gray, akhirnya kena batunya. Dia akhirnya merasakan getahnya kena nyinyiran warga +62. Ia beserta pasangan wanitanya yang bernama Saundra Michelle Alexander akhirnya dideportasi (Kamis, 21/1).

Begitulah jika jemari warganet saat sudah berkuasa. Walau pada satu sisi saling adu kuat dalam urusan politik, namun soal nasionalisme, tetap satu rasa. Begitulah, tak lama berselang berkat cuitan konyol Gray di akun twitternyapada 17 Januari 2021. Hmm, cuma 4 hari berselang. Mantabs...

***

Bagaimana sih sebenarnya WNA di mata WNI? Ini cuma sekadar pandangan subjektif. Jadi perspektifnya bisa saja berbeda.

Naluri alamiah, secara umum, penduduk lokal akan senang dengan kedatangan WNA, khususnya bule, yang memang tidak setiap saat bisa dijumpai batang hidungnya. Terkecuali pada tempat wisata atau lokasi pendidikan yang kerap jadi jujugan bule sebagai tempat aktivitas keseharian. Beda kasus.

Sebenarnya melihat bule itu sama sama saja. Cuma karena secara postur perawakan yang mungkin lebih eye catching. Jadinya kalau ada bule, lebih bagaimana begitu rasanya...

Tak perlu jauh-jauh, coba saja pantengin layar kaca. Bohhh.... Nama-nama artis pendatang baru, pasti ada satu-dua, tiga-empat yang terkesan asing-asing. Pun begitu dengan postur dan wajahnya. Nama-nama lokal banyak tenggelam. Malah yang berwajah indo, blasteran, mereka ini tak jarang didapuk peran lokal. Jadi wajah bule bahasanya dilogat-daerahkan.

***

Pernah juga sih mengalami sendiri. Saat ada perayaan HUT kota/kabupaten di Malang, kurun dasawarsa lalu. Kami mengantarkan teman bule yang kebetulan selama setahun penuh tinggal di Indonesia dalam rangka pertukaran tugas pelayanan.

Masih sekitar beberapa hari, belum satu bulan tinggal. Masih beradaptasi dengan suhu, makanan dan budaya.

Sepertinya acara budaya yang digelar di pendopo dihadiri khusus tamu dan undangan. Warga umum cuma bisa melihat secara terbatas.

Nekat dan iseng saja awalnya. Omong-omong dan minta ijin kepada petugas jaga untuk ikutan melihat dari jarak dekat. Teman kami ini asalnya dari negara kawasan Eropa. Jadi secara perawakan tinggi besar dan berkulit lebih putih. Terlihat jelas beda fisik, walau secara usia tak berbeda jauh.

Basa-basi ini akhirnya membuahkan hasil. Kami diijinkan masuk. Tentu dengan syarat salah satunya meninggalkan KTP dan diberi keplek tamu buat yang ikut.

Hehe... Tentu saja senang to.... Bikin iri pengunjung lokal yang lain. Belum tentu mereka juga akan diijinkan masuk, walaupun sambil nangis dan guling-guling di aspal, hahaha...

Beda perlakuan? Tentu saja. Ada dan memang bisa saja terjadi dalam kenyataan.

Kalau bule-bule ini berprestasi, lebih bisa menjiwai budaya lokal, maka apresiasi yang diberikan WNI akan lebih tinggi lagi.

Coba perhatikan saja di kanal youtube atau kalau ada grup WA.  Kadang ada anggota grup yang mengirim video tayangan bule ketika (dalam budaya Jawa) nyinden, nembang, main gamelan, menari, mengajar bahasa daerah. Hal seperti itu malah lebih diminati bukan? Kagum.

Tapi memang sih, semestinya perlakuan antara WNI dan WNA jangan dibeda-bedakan walaupun ada perbedaan di dalamnya.

Mereka sebenarnya fine-fine saja mendapatkan perlakuan yang sama dengan WNA. Cuma pembedaan dalam hal masakan yang kadang tidak nyambung seleea lidah, tapi hanya awal-awal saja.

Tetapi, ya, begitu. Jangan juga karena tidak paham dengan konteks kultural yang ada di negara kita, lantas ada oknum yang memanfaatkan keadaan. Sama saja kan, kalau misalnya suatu saat kita jadi WNA di negara lain.

***

Berjalan bareng, ngobrol akrab, kadang kita juga dapat sorotan (dilihati banyak pasang mata) berbeda dari orang-orang sekitar. Rerasan dan celotehan pasti ada. Sama juga sebenarnya hal ini saat kita berada dalam posisi mereka.

"Kirain saja ngomongnya cas cis cus dan akrab begitu. Wong kadang si bule juga sudah mampu berbahasa Indonesia baik dan benar menurut tata bahasa kursus." Jadi yang menemani sebenarnya bukan lagi jadi penerjemah bahasa, tapi cuma teman jalan-jalan, wkwkwk...

 Hendra Setiawan

25.01.2021

Arti kata bahasa Jawa:
'Kementhus' = sombong, berlagak, banyak bicara tapi tidak nyata, sok keren .
'Kemlinthi' = banyak tingkah, sok pintar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun