Nekat dan iseng saja awalnya. Omong-omong dan minta ijin kepada petugas jaga untuk ikutan melihat dari jarak dekat. Teman kami ini asalnya dari negara kawasan Eropa. Jadi secara perawakan tinggi besar dan berkulit lebih putih. Terlihat jelas beda fisik, walau secara usia tak berbeda jauh.
Basa-basi ini akhirnya membuahkan hasil. Kami diijinkan masuk. Tentu dengan syarat salah satunya meninggalkan KTP dan diberi keplek tamu buat yang ikut.
Hehe... Tentu saja senang to.... Bikin iri pengunjung lokal yang lain. Belum tentu mereka juga akan diijinkan masuk, walaupun sambil nangis dan guling-guling di aspal, hahaha...
Beda perlakuan? Tentu saja. Ada dan memang bisa saja terjadi dalam kenyataan.
Kalau bule-bule ini berprestasi, lebih bisa menjiwai budaya lokal, maka apresiasi yang diberikan WNI akan lebih tinggi lagi.
Coba perhatikan saja di kanal youtube atau kalau ada grup WA.  Kadang ada anggota grup yang mengirim video tayangan bule ketika (dalam budaya Jawa) nyinden, nembang, main gamelan, menari, mengajar bahasa daerah. Hal seperti itu malah lebih diminati bukan? Kagum.
Tapi memang sih, semestinya perlakuan antara WNI dan WNA jangan dibeda-bedakan walaupun ada perbedaan di dalamnya.
Mereka sebenarnya fine-fine saja mendapatkan perlakuan yang sama dengan WNA. Cuma pembedaan dalam hal masakan yang kadang tidak nyambung seleea lidah, tapi hanya awal-awal saja.
Tetapi, ya, begitu. Jangan juga karena tidak paham dengan konteks kultural yang ada di negara kita, lantas ada oknum yang memanfaatkan keadaan. Sama saja kan, kalau misalnya suatu saat kita jadi WNA di negara lain.
***
Berjalan bareng, ngobrol akrab, kadang kita juga dapat sorotan (dilihati banyak pasang mata) berbeda dari orang-orang sekitar. Rerasan dan celotehan pasti ada. Sama juga sebenarnya hal ini saat kita berada dalam posisi mereka.