Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Serba Salah Mengungkapkan Rasa Syukur

16 Januari 2021   15:55 Diperbarui: 16 Januari 2021   15:58 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa yang sama, bisa memunculkan reaksi yang bertolak belakang pada orang yang mengalaminya. Terlebih lagi jika itu terkait dengab musibah, bencana, kecelakaan dan beragam peristiwa yang dipandang tidak menyenangkan lainnya.

Misalnya, peristiwa kecelakaan yang terjadi di angkutan umum. Ada yang meninggal, luka-luka (baik ringan, sedang, berat) atau selamat. Satu peristiwa tapi implikasinya beragam rupa.

Nah, apa yang terjadi bagi keluarga yang menjadi korban meninggal? Hujan tangis dan air mata. Kesedihan dan dukalara yang mendalam. Begitulah kesan umum yang mudah ditangkap dalam pandangan mata.

Rasa pedih itu akan terus bertambah-tambah jika misalnya ia (yang jadi korban tadi) seorang kepala keluarga. Atau ia seorang yang dikenal rajin, taat beribadah, sopan, pandai, dan seterusnya. Hal-hal yang dipandang baik di mata kebanyakan orang.

Lalu kisah lanjutannya adalah narasi mempertanyakan kuasa Ilahi. "Di mana keadilan-Nya, di mana rasa sayang pada hamba-Nya?"

Belum lagi jika peristiwanya lebih tragis. Menjadi korban kriminalitas, salah sasaran atau random (korban acak). "Mengapa hal buruk ini bisa menimpa pada orang yang beriman penuh pada Dia?"

Sungguh, ini sebuah misteri Ilahi yang tak mudah untuk mendapatkan jawabannya. Apalagi jika si korban berasal dari lingkungan keluarga yang dikenal baik; bukan "bermasalah".

Bertolak dari itu, kembali pada korban komunal tadi. Buat mereka yang lolos dari maut, tentu terlontar kata tiada henti untuk ber-ucap syukur. Nyawanya masih tertolong, ia selamat. Kalau toh ada luka di sekujur tubuh, separah apapun, tetap saja mau menerima keadaan tersebut. Karena nyawa hidup itu yang jauh lebih penting.

Tak jarang, rasa syukur itu diwujudkan dalam bentuk kesaksian iman. "Tuhan begitu baik, masih memberikan kesempatan buat hidup."

Perbedaan Perspektif

Cara pandang terhadap masalah yang sama tersebut tidak ada yang salah. Normal, bahkan amat normal dan manusiawi sekali.

Nah, yang jadi persoalan kemudian adalah jika pernyataan itu  muncul ke ranah publik, bukan cuma beredar dalam kalangan terbatas (lingkup internal). Seakan-akan Sang Pencipta pilih kasih dalam bertindak. Ia sayang pada yang satu, tapi tidak pada yang lain. Ia membiarkan terjadi kemalangan pada yang satu, tapi kemujuran pada yang lainnya.

Ada 'korban' yang masih punya kesempatan untuk bisa menikmati umur yang lebih panjang. Sementara, di sisi lain ada yang harus menjalani hari-hari ke depannya dengan luka fisik yang membekas seumut hidup. Namun ada yang lebih tragis karena nyawanya bak alur film yang berakhir dengan 'the end'. Cukup sudah masa hidupnya.

Dalam situasi sosial di era digital saat ini, tentu akan jadi "bermasalah" jika unsur "kesaksian iman" tadi jatuh pada tangan dan komunitas yang salah. Sepertinya, orang yang selamat tadi mengecilkan arti dari mereka yang menjadi korban kehilangan nyawa. 

Tentu akan ada yang punya pemikiran atau pemahaman berbeda, walau si empunya cerita tidak bermaksud demikian. Ia hanya menyaksikan karya luar biasa dari Sang Pencipta atas hidupnya. Terhindar dari marabahaya yang mampu membuatnya bisa kehilangan nyawa.

"Tidak ada empati". Begitu kacamata yang dilihat dari sisi lain dari pihak yang berseberangan dengannya. Mereka yang menjadi korban nyawa dari peristiwa yang sejenis. Seolah hanya dia yang mendapat mujizat dan berkat. Orang lain tidak disayang Tuhan. Maka laknat dan celaka menghinggapi mereka.

Cerdas Sosial

Dunia media sosial (medsos) kini adalah dunia yang bebas dan terbuka. Malah kecenderungannya vulgar tanpa batas etis dan norma.

Maka setidaknya perlu juga untuk bersikap lebih cerdas. Bukan cuma dari pihak yang mengalaminya sendiri, tapi juga orang lain. Mereka yang bukan dalam lingkaran yang dikenal, yang kerapkali "berbagi" tanpa memikirkan kemungkinan dampak negatif yang terjadi.

Meskipun tujuannya baik, tapi ada ada batas yang bisa membuat kita menjadi "saluran berkat" tatkala mengungkapkan rasa syukur itu. Jangan sampai itu malah berganti menjadi "laknat"  bagi pihak yang berseberangan.

Sah-sah saja "kesaksian iman" itu dipakai alat untuk lebih memperteguh iman dan keyakinan pada komunitas yang sama. Tetapi jangan sampai di sisi lain, hal itu menjadikan pihak yang lainnya menjadi kian terluka oleh "postingan" tersebut.

Tentu sebagai orang beriman, apapun latar belakang kepercayaannya, jelas meyakini bahwa Dia tidak akan pilah pilih dalam merealisasikan cinta kasih pada umat-Nya. "Seperti mentari yang bersinar, bukankah Ia memberikannya untuk segenap makhluk ciptaan-Nya?"

*) buat mereka yang hari-hari ini sedang dalam masa duka

 Hendra Setiawan

*) Turut berduka untuk mereka yang hari-hari belakangan ini menjadi korban kecelakaan, covid-19, musibah kemanusiaan dan bencana alam. 
Semoga Sang MahaPenghubur mampu memberikan kekuatan senantiasa dalam menjalani hari-hari ke depan. God bless you all...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun