Nah, yang jadi persoalan kemudian adalah jika pernyataan itu  muncul ke ranah publik, bukan cuma beredar dalam kalangan terbatas (lingkup internal). Seakan-akan Sang Pencipta pilih kasih dalam bertindak. Ia sayang pada yang satu, tapi tidak pada yang lain. Ia membiarkan terjadi kemalangan pada yang satu, tapi kemujuran pada yang lainnya.
Ada 'korban' yang masih punya kesempatan untuk bisa menikmati umur yang lebih panjang. Sementara, di sisi lain ada yang harus menjalani hari-hari ke depannya dengan luka fisik yang membekas seumut hidup. Namun ada yang lebih tragis karena nyawanya bak alur film yang berakhir dengan 'the end'. Cukup sudah masa hidupnya.
Dalam situasi sosial di era digital saat ini, tentu akan jadi "bermasalah" jika unsur "kesaksian iman" tadi jatuh pada tangan dan komunitas yang salah. Sepertinya, orang yang selamat tadi mengecilkan arti dari mereka yang menjadi korban kehilangan nyawa.Â
Tentu akan ada yang punya pemikiran atau pemahaman berbeda, walau si empunya cerita tidak bermaksud demikian. Ia hanya menyaksikan karya luar biasa dari Sang Pencipta atas hidupnya. Terhindar dari marabahaya yang mampu membuatnya bisa kehilangan nyawa.
"Tidak ada empati". Begitu kacamata yang dilihat dari sisi lain dari pihak yang berseberangan dengannya. Mereka yang menjadi korban nyawa dari peristiwa yang sejenis. Seolah hanya dia yang mendapat mujizat dan berkat. Orang lain tidak disayang Tuhan. Maka laknat dan celaka menghinggapi mereka.
Cerdas Sosial
Dunia media sosial (medsos) kini adalah dunia yang bebas dan terbuka. Malah kecenderungannya vulgar tanpa batas etis dan norma.
Maka setidaknya perlu juga untuk bersikap lebih cerdas. Bukan cuma dari pihak yang mengalaminya sendiri, tapi juga orang lain. Mereka yang bukan dalam lingkaran yang dikenal, yang kerapkali "berbagi" tanpa memikirkan kemungkinan dampak negatif yang terjadi.
Meskipun tujuannya baik, tapi ada ada batas yang bisa membuat kita menjadi "saluran berkat" tatkala mengungkapkan rasa syukur itu. Jangan sampai itu malah berganti menjadi "laknat" Â bagi pihak yang berseberangan.
Sah-sah saja "kesaksian iman" itu dipakai alat untuk lebih memperteguh iman dan keyakinan pada komunitas yang sama. Tetapi jangan sampai di sisi lain, hal itu menjadikan pihak yang lainnya menjadi kian terluka oleh "postingan" tersebut.
Tentu sebagai orang beriman, apapun latar belakang kepercayaannya, jelas meyakini bahwa Dia tidak akan pilah pilih dalam merealisasikan cinta kasih pada umat-Nya. "Seperti mentari yang bersinar, bukankah Ia memberikannya untuk segenap makhluk ciptaan-Nya?"