Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Natal yang Tetap Indah

29 Desember 2020   18:11 Diperbarui: 29 Desember 2020   19:29 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Datangnya pandemi, menorehkan banyak cerita kesedihan. Salah satunya, dari yang semula biasa berkumpul bersama, kini aktivitas itu menjadi kian terbatas. Protokol kesehatan mewajibkan untuk jaga jarak aman.

Pada akhirnya, belajar, bekerja, beribadah, beralih dan/atau dialihkan ke rumah. Satu dua hari, jelas masih tahan. Seminggu dua minggu, masih sanggup menjalani. Dua tiga bulan mulai ada rasa bosan. Menuju setahun, ada dua kemungkinan terjadi. Sudah mulai terbiasa atau mengalami titik jenuh.

Kondisi terakhir inilah yang akhirnya menjadikan orang jadi abai dan enggan pada protokol kesehatan yang telah diterapkan. Semua menjadi kembali seperti biasa. New normal pada keadaan sama seperti sebelumnya. Seolah tak ada apa-apa. Virus yang memang tak kasat mata itu, bagi sebagian orang, dianggap cuma berita yang dibesar-besarkan. Kematian akibat virus korona, dianggap hanya sebagai angin lalu.

Ya, begitulah... Sikap sebagian masyarakat yang ogah sadar dan apatis, masa bodoh. "Waktunya mati ya mati. Repot amat dengan virus."

Enak sekali cara berpikirnya. Padahal pada sisi lain, tim medis, petugas kesehatan, dan para relawan terus berjuang mati-matian. Biar jangan ada korban lagi. "Keselamatan menjadi pokok prioritas yang utama."

 

Tugas Bersama Orang Beriman

Beriman dengan aman. Aman dengan beriman. Dua hal yang sama-sama penting dan saling terkait menunjang.

Beriman tapi menyepelekan (kesehatan dan keselamatan) diri sendiri, imbasnya tentu pada orang lain. Terlebih lagi pada keluarga terdekat.

#######

Pada internal dan mungkin sama bagi yang lain, bagi umat Kristiani di Indonesia, beribadah dari rumah, tentu bukan pilihan yang baik (enak). Tapi karena situasi dan kondisi yang memaksa, tentu itu menjadi pilihan yang jauh lebih baik.

Memang ada berbeda. Jelas! Kehadiran raga juga membawa rasa. Dan rasa itu tidak serta ada dan bisa tinggal semata berdiam di dalam rumah.

Pertemuan rasa daring (online atau virtual) tidak akan sama dengan yang dilakukan secara fisik, tatap muka. Kayak orang LDR-lah hehe... Mending kalau masih bisa jauh di mata, tapi tetap dekat di hati.  Lha, kalau sudah jauh di mata, jauh pula rasanya rindu di hati? Ayahab (bahaya) kata orang Malang...

#######

Sembilan bulan menjalani masa ibadah dari rumah sejak Maret lalu, tentu menyisakan duka. Masa di akhir tahun, ketika masaraya Natal tiba, masih saja tinggal di rumah. "Ya, Tuhan,... sampai kapan ini terjadi?" Hiks... Sedih banget rasanya... Ah, rindu yang tak tertahankan, tapi harus rela dijalankan.

Mana kasus corona virus yang semula dapat kabar baik makin melandai, eh... tetiba melonjak kembali. Rumah ibadah yang sebagian pernah buka, ya terpaksa ditutup kembali. Belum lagi keriuhan tahunan jagad maya yang pada ribet dan ribut soal Natal. Padahal yang sedang memperingatinya ya biasa aja sebenarnya.

Tapi begitulah kisah negeri +62... yang kita tahu dan alami bersama pada tahun-tahun yang berjalan...

#######

Dalam masa tenang akibat virus yang kian mewabah, tensi Natal pun menjadi lebih tenang. Di kalangan internal kristiani, tidak lagi yang namanya perayaan alias gebyar Natal yang 'dhisik-dhisikan' (salimg mendahului). Kembali pada tatanan, sesuai pada kalender gerejawi yang ada. Kembali pada yang diharapkan, dalam kesederhanaan.

Natal 2020 kini terasa lebih adem dan sejuk, ketika biang-biang keonaran dikebiri satu persatu. Meskipun bibit-bibitnya sudah menyebar luas, paling tidak jika indukan bisa dijinakkan, potensi perkembangan bibit yang lain tadi lebih mudah diawasi dan diatasi. Biar tak jadi virus otak yang juga membahayakan keutuhan negeri.

Menyaksikan dan membaca narasi pidato atau sambutan Natal dari petinggi negeri, baik Menteri Agama yang baru maupun Presiden RI, setidaknya bisa memberi secercah kabar baik. Bahwa masih ada cahaya terang pada ujung lorong yang kelihatan gelap di muka.

Tangkapan layar youtube metro tv news
Tangkapan layar youtube metro tv news
Seperti disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas berikut ini.

"Saudara sebangsa dan setanah air, khususnya umat Kristiani yang berbahagia, Natal tahun ini mengusung tema "Mereka Akan Menamakannya Imanuel."

Melalui tema Natal ini kita diingatkan bahwa penyertaan Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa ada menaungi kita sekalian. Kita memiliki harapan dan pertolongan sekalipun berada di masa-masa sulit akibat pandemi Covid-19 ini.

Sebagaimana Yesus Kristus yang lahir sebagai pengajar kebaikan, kesederhanaan dan sosok yang memberi perhatian kepada kaum lemah, serta cinta kasih kepada sesama.

Kami mengajak semua pihak agar perayaan Natal tahun ini hendaknya dilaksanakan secara sederhana, tidak berlebih-lebihan serta menekankan persekutuan dan berbagi kasih di tengah-tengah keluarga.

Melalui semangat Natal, kami mengimbau seluruh umat Kristiani khususnya, dan segenap umat beragama untuk berpartisipasi aktif menciptakan suasana damai dan harmoni, seraya terus mendukung pemerintah dalam upaya percepatan pembangunan.

Mengakhiri sambutan ini, saya atas nama Menteri Agama dan atas nama pribadi, mengucapkan 'Selamat Merayakan Natal 25 Desember Desember 2020. Kepada segenap umat Kristiani Indonesia, kiranya damai sukacita dan kebahagiaan Natal menyertai kita sekalian dan membangkitkan semangat untuk mewujudkan kehidupan yang penuh damai dan bersahabat.

Terima kasih."

Tangkapan layar youtube Sekretariat Presiden
Tangkapan layar youtube Sekretariat Presiden
Demikian juga dengan Joko Widodo, Presiden RI pada acara virtual Perayaan Natal Nasional 27/12/2020. Pidato lengkapnya bisa dibaca di sini (setkab.go.id).

Kenangan Abadi 

Natal era pandemi. Ini akan menjadi kisah dan sejarah yang abadi. Entah berapa puluh tahun lagi, ketika generasi yang akan datang membuka lembaran sejarah. Mereka akan membaca kisah ini, sama ketika kita membaca wabah Flu Spanyol yang jadi momok menakutkan dunia di tahun 1918-1920.

Terima kasih, ya, Imanuel, untuk masa pandemi yang harus kami jalani. Engkau ada bersama dan menyertai kami. Dalam keterbatasan, kami akhirnya juga belajar berkreasi dan inovasi mandiri.

Terima kasih karena mengajar kami untuk bisa kembali menemukan kehangatan kasih bersama sebagai satu keluarga. Keluarga yang saling memperhatikan dan hidup dalam harmoni cinta.

Terima kasih juga untuk fenomena semesta, yang mengingatkan kami kembali arti kehadiran-Mu...


*) 29 Desember 2020

Tepat 9 bulan kegiatan ibadah di rumah saja

 Hendra Setiawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun