Sementara di lain pihak menganggapnya biasa saja. Tidak ada yang perlu diributkan. Itu hanya persoalan hubungan personalitas dan tidak mengarah pada yang lebih esensial. Kalaupun dianggap salah, toh sebenarnya bukan cuma dia doang. Tapi "siapa" yang mengajari atau paham teologi yang melatarbelakanginya.
Justru, karena di belakang layar akun-akun medsos itu juga terdiri dari manusia-manusia yang punya latar belakang paham teologi yang berbeda pula, maka sesama admin pun sama-sama berapologi (punya pembelaan argumen) sendiri.
Seperti cuplikan capture berikut ini. Tapi, untuk dicatat, bukan akun ini yang saling 'serang'. Sebelah kiri diambil dari instagram, yang kanan dari twitter. Bagaimana di Facebook, YouTube? Ada juga, tapi tidak diambil buat ilustrasi tulisan ini. Ini hanya sekadar sample saja.
Kalau sekadar mencari salah benar, tentu bisa saja. Menghakimi orang lain, itu juga bisa dilakukan. Sebaliknya, mencari pembenaran diri, itu juga bisa dicari. Tetapi, terlepas dari semua itu, pelajaran terpenting bagi semua adalah tidak cepat menjustifikasi. Tentu di balik itu semua, ada hal yang terkait dengan latar belakangnya. Sehingga yang muncul di permukaan menjadi seperti demikian.
Maka, titik akhirnya, kembali permohonan agar hikmat Tuhan saja yang menyertai. Seperti kata pemazmur, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana."
Selamat hari Minggu semua. Soli Christo Deo Gloria. Tuhan memberkati...
 Hendra Setiawan
18 Oktober 2020