No problemo dengan itu semua. Sebab untuk bisa menulis, teori segunung banyaknya, fungsinya hanya akan memperlengkapi saja. Memberi bekal. Terlebih penting adalah mulailah untuk menulis. Praktik...!
Seorang penulis, kunci utama yang harus dimiliki adalah ia harus suka dan mau belajar. Kalau soal kemampuan, itu hanya nomor kesekian. Mampu tapi tak mau, jelas beda dengan orang yang mau tetapi tidak mampu. Ketidakmampuan dapat diatasi dengan belajar. Tetapi tak mau, apa yang diharapkan...?!
Jika ada orang yang sebenarnya bisa masuk pada kategori pertama (penulis by born), tapi bila dia tidak pernah menghasilkan karya, akan kalah oleh mereka yang mau belajar menulis. Mereka yang masuk kategori kedua (penulis by learn) walaupun karyanya bisa dibilang masih sederhana --dalam artian masih jauh dari sempurna, minimal dalam penggunaan ejaan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar-- maka dia akan lebih bisa berkembang.
Penulis di Kompasiana pada dasarnya punya kecenderungan masuk pada kategori yang pertama. Tetapi ada juga yang masuk pada kategori kedua. Tetapi, dalam kenyataan, ada kalanya teori pengkategorian di atas jadi jumbuh; tumpang tindih. Ada batas yang tidak jelas. Bercampur.
Panggilan Hati
Terlepas dari itu teori dan pengkategorian di atas, tentu ketika seseorang terjun atau memilih jalan menjadi penulis, pasti punya misi tertentu. Ada yang karena nominal, karena pekerjaan, karena pengin dapat hadiah, reward dan sejenisnya.
Di sisi lain, ada juga yang menulis karena ingin menulis. Jiwanya di situ. Menulis bukan karena berdasar imbalan. Tetapi kalau dapat, itu hanyalah bagian dari bonus, Dalam bahasa yang 'keren' adalah menulis karena "panggilan hati".
Terlepas dari apapun motivasi atau latar belakangnya, yang pasti, bagi saya pribadi: menulislah untuk kebaikan. Menulislah untuk kebajikan. Menulislah supaya lebih bijak.
Lakukan semua itu sebagai rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh Sang Pemberi Mandat Kehidupan.
 Hendra Setiawan
*) bersambung bagian III: Â Talenta Pemberian Sang Tuan