PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan Grace Natalie. Dua nama ini amat familiar di televisi karena seringnya tampil. Ada yang suka-suka saja melihatnya. Ada pula yang tidak. Sah dan wajar saja. Beda pendapat, beda persepsi.
Terlepas dari pro-kontra substansinya, namun dalam teori psikologi, pewartaan yang masif itu membuat nama keduanya berhasil melekat dalam bawah sadar penonton televisi.
Politik Idealis
Sejak awal kemunculannya, PSI yang banyak digawangi oleh kaum muda ini, memang telah banyak menjadi buah bibir. "Memang bisa apa kaum muda, yang katanya masih awam dalam berpolitik itu?"Â
Benar, sulit menemukan nama tokoh senor atau politisi kawakan yang ada di sana. Sebaliknya, nama-nama asing, yang belum begitu dikenal, itu yang banyak bertebaran. Kecuali mungkin nama Grace Natalie, Isyana Bagus Oka; sekian di antara nama para jurnalis televisi yang ikut bergabung di dalamnya.
Namun begitulah jalan yang dipilih oleh mereka. Seperti yang diceritakan oleh Grace Natalie sebagai ketua umum PSI. Dalam pernyataannya pada Festival 11Â di Medan, 11 Maret 2019, mantan presenter yang pernah berkiprah di beberapa TV swasta ini menceritakan awal mula yang terjadi sekitar 4 tahun lalu.
"Bertahun-tahun, kami dan jutaan orang Indonesia lain, berharap partai politik menjadi lebih baik. Penantian yang tidak pernah terjadi!
Negeri yang korup, dengan persoalan intoleransi yang akut, bukanlah sebuah tempat masa depan yang kami bayangan. Kami --- dan generasi di bawah kami --- tidak ingin hidup di negeri di mana uang pajak dicuri secara sistematis, di mana orang tak bisa menjalankan ibadah dengan tenang, negeri di mana orang bisa seenaknya menyebarkan kebencian SARA secara terbuka. Tidak, bukan seperti itu masa depan yang kami bayangkan."
Lagi katanya, "Kami memasuki politik dengan kesadaran penuh. Kesadaran bahwa kita --- Indonesia --- punya peluang besar untuk jadi negara maju, dan satu-satunya cara memastikan itu terjadi adalah dengan menyelamatkan negeri ini dari para PENCOLENG uang rakyat, dari para FASIS yang merasa dirinya paling suci dan maha benar, sehingga merasa berhak mendiskriminasi orang lain yang berbeda keyakinan. Apakah kita akan biarkan politik dikuasai para pencoleng?Apakah kita akan biarkan politik dikuasai para fasis?"
***
Pidato politiknya itu tentu saja cukup keras, tidak enak didengar kuping para politisi yang disindir. Ini terasa beda banget dengan kemunculan iklan mereka di TV. Seperti alay-alay begitu istilah generasi milenial.