Melihat antusiasme pemilu di luar negeri, bayang-bayang kekuatiran tingginya angka golput pada pemilu 2019 kali ini nampaknya sedikit mengobati kecemasan. Justru yang terjadi adalah keresahan susahnya mendapatkan giliran mencoblos.
Bahkan banyak yang mengalami kegagalan kala WNI ingin menyalurkan pilihan politik alias hak suara. Kendala yang semestinya bisa diantisipasi. Hanya karena alasan teknis, Â panitia penyelenggara yang kurang bisa memprediksi antusiasme WNI di luar negeri.
Ya, perhelatan akbar lima tahunan di negeri ini, golput selakan menjadi ancaman rutin. Bahaya jika mereka mengabaikan hak pilihnya. Legitimasi pemilu yang baik akan berkurang. Imbasnya, ke depan akan muncul lagi orang-orang yang tidak baik, berkuasa kembali dengan leluasa.
Ya, golongan putih atau golput, nyatanya selalu ada dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Angka ini termasuk cukup besar, karena berkisar antara 10-30 persen. Perhitungan itu berdasar data pemilu 1955 hingga pilpres 2014. Jumlah golput sangat tinggi, mencapai angka 30,42 persen.
Jadi, bayangkan kalau ada 10% saja dari misalnya 100 juta pemilih. Berarti jumlahnya sudah 10 juta orang. Kalau mencapai 30%, maka ada 30 juta suara yang terhilang. Angka yang tidak main-main. Besar! Tahun 2019 ini, ada 194 juta suara pemilih. Nah, coba hitung berapa jumlahnya.
Beda Konteks
Dalam penyelenggaraan pemilu 5 tahunan, ada konteks masa dan masalah yang berbeda ketika perilaku golput menggejala. Banyak hal yang mempengaruhi tindakan itu. Bisa karena kendala teknis ataupun non teknis. Tetapi lebih besar, fenomena golput marak terjadi karena faktor rasa dan logika.
Memilih itu hak. Tidak memilih pun, itu juga adalah hak. Sama-sama derajatnya. Mau memilih kalau ada calon yang jelas bisa dipilih. Pilihan itu ada. Kesempatan juga ada.
Namun, sebaliknya, manakala di antara pilihan yang ada, memang merasa tidak ada layak untuk dipilih. Lantas, mengapa harus memilih juga?
Bisa jadi ada persoalan moral, persoalan etika, persoalan hati nurani, persoalan naluri, persoalan akal budi. Jika memilih orang yang salah, yang "cacat", yang berbenturan dengan "nilai kebenaran" yang diyakini, akan membawa dampak penyesalan dan rasa bersalah berkepanjangan.
Oleh karenanya, lebih baik tidak memilih sekalian. Hal itu dirasa menjadi pilihan yang dianggap lebih tepat. Karena pilihan yang tersedia sama-sama buruknya.
***