"Waktu itu saya di pasar Pucang, tiba-tiba terdengar booomm... Saya kira apa? Bom itu. Bukan, Bu... Kami para ibu yang lagi berbelanja beradu argumen sendiri soal bunyi itu. tiba di rumah, nonton TV, ternyata benar: bom. Saya langsung lemas," kisah seorang ibu pada kami, para penumpang.
Pasar Pucang dan lokasi dari GK. SMTB di jalan Ngagel Madya kurang lebih 1-5 hingga 2 km. Jadi, ya memang efek ledakannya begitu dahsyat.
Ini seakan menegaskan kesaksian dari salah satu penjual es jeruk yang biasa mangkal di dekat gereja. Di siaran TV lokal sore itu, ia mengaku sempat terlempar hingga 15 meteran. Bahkan yang lebih horor lagi, potongan tubuh yang terlempar.
Ah... benar-benar mengerikan jika mendengar tuturan para saksi mata ini.
Sama seperti kota besar lain, barangkali ini juga dapat menjadi pelajaran berharga. Kadang kita perlu waspada terhadap siapapun yang perilakunya dinilai tidak wajar. Sebab, kebanyakan kini kita menjadi acuh dengan para tetangga, para pendatang. Sifat saling perhatian dan saling menjaga warisan leluhur, sudah mulai banyak ditinggalkan. Jadi, teroris itu bisa saja muncul dari manapun. Ia bisa bisa menyaru menjadi apa saja di sekitar kita.
Gerak cepat pun segera berlangsung menyikapi kejadian ini. Selain aksi lilin di kawasan Tugu Pahlawan, juga spanduk-spanduk 'perlawanan' khas arek Suroboyo.
"Surabaya Melawan Teroris, Kami Tidak Takut, Â Kita Bersama, Â Suroboyo Wani, Iki Suroboyo Cuk, Pray for Surabaya" dan sebagainya, menjalar liar tanpa komando. Tagar di media sosial (medsos) dan heroisme lewat spanduk ini adalah sebagian kecil ungkapan dari wujud kecintaan arek-arek Suroboyo.
Kami bersama. Â Kami satu nyali: WANI untuk melawanmu. Â #KamiTidakTakut, Â #LawanTerorisme. Ini kota kami. Â Kota yang kami cintai dan banggakan. Â Siapapun yang mencoba memporak-porandakan keharmonisan ini, Â bersiaplah untuk angkat kaki.