Segala karya Tuhan pada awalnya dan pada dasarnya adalah baik adanya. Manusialah yang membuatnya tidak baik dan menjadikannya “najis”.
Apa yang masuk ke dalam mulut dan penuh kebaikan, tidak pernah membuatnya najis. Justru yang keluar dari hatilah yang membuatnya najis.
Cermin diri dan karakter dasar seseorang dapat diketahui dari hati. Dari hatilah maka akan keluar pikran, perkataan, dan perbuatan yang riil.
***
Agama tercipta untuk mengajak seseorang untuk lebih baik lagi mengenal ‘Siapa" yang yang lebih berkuasa atas dirinya. Agnosto Theo yang bisa membuatnya merasa nyaman dalam menerima terpaan badai kehidupan.
Agama menjadikan hidup seseorang lebih baik dalam memandang orang lain di sekitarnya; sebagai sesama umat ciptaan.
Jika dengan ber-agama, orang malah mencaci-maki, menghujat, dan bahkan menyakiti badani liyan, atas nama Tuhan yang diyakini keberadaan-Nya, maka sejatinya ia tidak sedang membela ‘Sesembahan’nya itu. Ia malah sedang menistakan Sang Mahadasyat.
Tuhan itu pada dasarnya telah memberikan teladan karya. Ia sudah berbela rasa dan solider serta berempati pada hidup dan kehidupan manusia, yang pada hakekatnya sendiri adalah lemah dan berdosa itu. Manusia yang tak mampu lepas sendiri dari belenggu salah dan derita.
Tuhan itu sudah ‘terlalu’ kuasa-Nya. Tanpa campur tangan manusia pun, Ia sudah mampu untuk mengatasi setiap persoalan dengan milyaran cara. Logika Tuhan tidak mungkin dipersepsikan sama seperti manusia ciptaan-Nya dalam bernalar.
***
Membela atas nama Tuhan, tapi membuat orang lain menjadi terluka karenanya, pada dasarnya sama dengan membuat-Nya juga terluka. Sebab sebagai Sang Pencipta, Ia sangat menyayangi dan mengasihi segenap makhluk ciptaan-Nya.
Segala sesuatu yang tercipta dari Firman-Nya adalah menghidupkan. Sebab Dia adalah Sang Sabda Hidup dari mula kekekalan hingga kekekalan.
Maka dalam hidup bersama di planet yang sama ini, perlu semangat toleransi dan empati. Itu adalah kunci untuk pro-eksistensi. Bukan malah beradu gengsi, membuat pembenaran opini, merasa diri sebagai sosok paling terpuji dan suci. Ingin menang sendiri, hingga yang lain harus tunduk diri.
Melecehkan ciptaan yang hidup dengan cara apapun adalah tindakan yang tidak terpuji. Bertentangan dengan esensi Ilahi itu sendiri.
***
Secara teori, agama adalah HAM yang paling tua di bumi ini. Di antara banyak HAM, agama adalah hak asasi yang paling asasi. Ia bersifat sangat privat. Tak ada yang bisa menandinginya. Hak memeluk agama, berpindah keyakinan, juga hak untuk tidak memilih di antara kelembagaan formal yang telah ada sekalipun. Juga mengekspresikan diri atas pilihannya itu, dengan terbatas pada kewajiban asasi yang ada.
Jangan pernah membuat Sosok “Superstar” di dalamnya menjadi ter-reduksi. Tuhan bukan seperti manusia. Tidak usah membawa nama Tuhan kalau ternyata dalam realitanya malah merendahkan karya cipta-Nya, yang menjadi pengejawantahan atas citra diri Sang Pencipta.
Tanpa diagung-agungkan, Ia sudah Agung terlebih dulu. Manusia tak mungkin mampu meninggikan atau merendahkan sosok-Nya, hanya karena perbuatan yang menurut dirinya adalah benar adanya.
Tuhan itu transenden dan imanen. Tuhan itu sepertinya sangat jauh untuk dijangkau. Tetapi Tuhan itu juga terasa sangat dekat dengan hidup manusia. Jauhnya hanya sebatas doa, namun kehadiran-Nya bisa sedekat nafas.
Note:
Agnosto Theo = sosok yang dipercaya mampu mengatasi segala bentuk ‘sesembahan’ yang sebelumnya dipercaya berkuasa, namun tidak mampu untuk mengatasi sebuah persoalan baru yang datangnya belakangan, yang dirasa jauh lebih rumit dari sebelumnya. Ternyata ada ‘Yang Lebih Berkuasa’ dari “Yang Pernah Berkuasa’ (‘mahadewa’; bukan sekadar ‘dewa’).
Liyan = orang/kelompok lain
*) Ragam catatan pagi ini
Hari HAM Sedunia
10 Desember 2016
-end-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H