Segala sesuatu yang tercipta dari Firman-Nya adalah menghidupkan. Sebab Dia adalah Sang Sabda Hidup dari mula kekekalan hingga kekekalan.
Maka dalam hidup bersama di planet yang sama ini, perlu semangat toleransi dan empati. Itu adalah kunci untuk pro-eksistensi. Bukan malah beradu gengsi, membuat pembenaran opini, merasa diri sebagai sosok paling terpuji dan suci. Ingin menang sendiri, hingga yang lain harus tunduk diri.
Melecehkan ciptaan yang hidup dengan cara apapun adalah tindakan yang tidak terpuji. Bertentangan dengan esensi Ilahi itu sendiri.
***
Secara teori, agama adalah HAM yang paling tua di bumi ini. Di antara banyak HAM, agama adalah hak asasi yang paling asasi. Ia bersifat sangat privat. Tak ada yang bisa menandinginya. Hak memeluk agama, berpindah keyakinan, juga hak untuk tidak memilih di antara kelembagaan formal yang telah ada sekalipun. Juga mengekspresikan diri atas pilihannya itu, dengan terbatas pada kewajiban asasi yang ada.
Jangan pernah membuat Sosok “Superstar” di dalamnya menjadi ter-reduksi. Tuhan bukan seperti manusia. Tidak usah membawa nama Tuhan kalau ternyata dalam realitanya malah merendahkan karya cipta-Nya, yang menjadi pengejawantahan atas citra diri Sang Pencipta.
Tanpa diagung-agungkan, Ia sudah Agung terlebih dulu. Manusia tak mungkin mampu meninggikan atau merendahkan sosok-Nya, hanya karena perbuatan yang menurut dirinya adalah benar adanya.
Tuhan itu transenden dan imanen. Tuhan itu sepertinya sangat jauh untuk dijangkau. Tetapi Tuhan itu juga terasa sangat dekat dengan hidup manusia. Jauhnya hanya sebatas doa, namun kehadiran-Nya bisa sedekat nafas.
Note:
Agnosto Theo = sosok yang dipercaya mampu mengatasi segala bentuk ‘sesembahan’ yang sebelumnya dipercaya berkuasa, namun tidak mampu untuk mengatasi sebuah persoalan baru yang datangnya belakangan, yang dirasa jauh lebih rumit dari sebelumnya. Ternyata ada ‘Yang Lebih Berkuasa’ dari “Yang Pernah Berkuasa’ (‘mahadewa’; bukan sekadar ‘dewa’).
Liyan = orang/kelompok lain