Bagaimana kita memaknai ke-ESA-an dalam kalimat sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’? Juga kepala kalimat dalam amar putusan pengadilan: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha ESA.”
ESA dan EKA secara sederhana memang memiliki makna yang serupa, yakni SATU. Tetapi ada perbedaan besar di antara keduanya.
Pihak yang bersikukuh mengatakan bahwa ESA adalah SATU-SATUNYA, TUNGGAL, THE ONLY ONE adalah pihak yang menolak KeMaha-Esaan Tuhan itu sendiri. Tuhan yang hanya menjadi objek pikiran manusia, bukan sebagai diri-Nya sendiri.
Mereka adalah adalah pihak yang pongah dan semena-mena memaksakan pengertian Tuhan menurut kelompoknya sendiri kepada kelompok yang lebih besar. Mengingkari keberagaman, kemajemukan, pluralitas yang senyatanya telah ada di bumi Indonesia sejak semula. Jauh sebelum agama itu sendiri hadir sebagai pendatang baru di Nusantara. “Apakah elok pendatang mengusir pemilik rumah?”
Bahasa Sanskrit sangat gamblang membedakan antara ESA dan EKA. ESA adalah satu dalam arti kesatuan. ESA memiliki makna jamak. Sedangkan yang bermakna satu, tunggal, adalah EKA.
Dalam bahasa Kitab Suci pun hal ini sebenarnya juga sama. Kitab Suci juga memberikan perbedaan makna yang SATU itu dalam arti TUNGGAL dan JAMAK.
Kitab Suci membedakan antara ECHAD dan YAKHID (bhs. Ibrani). Posisi ini sama pengertiannya dengan kata AHAD dan WAHID (bhs. Arab).
ECHAD (AHAD) adalah kesatuan dari yang jamak. Ia berarti "esa", "pertama", "satu", yaitu kesatuan yang kompleks, bukan kesatuan yang absolut.
Istilah YAKHID (WAHID)-lah yang berarti "satu-satunya" (tunggal), "satu yang absolut" (hanya).
Maka, siapapun yang mencoba membelokkan makan kata ESA sesuai dengan kehendaknya sendiri, maka jelas merekalah yang sebenarnya musuh dari NKRI.
(sekilas info dari berbagai sumber)