Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Risma, antara Surabaya dan Jakarta

9 Agustus 2016   20:16 Diperbarui: 10 Agustus 2016   12:41 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gejolak daerah tentu lebih afdol jika disimak dari pemberitaan lokal, seperti koran nasional yang terbit dari Surabaya, Jawa Pos (JP), yang turut terkesan ambigu dalam pemberitaannya. Pada satu sisi, hasil polling yang dilakukan media ini untuk periode 3-8 Agustus 2016, menempatkan perolehan angka 92% masyarakat menghendaki Risma tetap berada di Surabaya. Hanya 8% yang mendukung Risma maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Sebagaimana hal ini dirilis dalam terbitannya seperti capture berikut.

Sumber: http://digital.jawapos.co.id/shared.php?type=imap&date=20160809&name=H26-A213935
Sumber: http://digital.jawapos.co.id/shared.php?type=imap&date=20160809&name=H26-A213935
Menarik, karena jumlah ini tidak berbeda jauh dengan angka hasil pilkada/pilwali Surabaya pada akhir tahun lalu (9/12/2015). Saat itu, pasangan Risma-Wisnu memenangkan 86,22% dari suara sah yang mencapai 1.026.405 (tidak sah 18.736 suara). Sedangkan pasangan suara Rasiyo-Lucy Kurniasari mendapat 13.,8% suara.

Sumber: https://pilkada2015.kpu.go.id/surabayakota
Sumber: https://pilkada2015.kpu.go.id/surabayakota
Keberpihakan

Pada terbitan hari ini, Selasa 9 Agustus 2016, di halaman opini (hlm. 4), ada dua hal menarik yang didapatkan di sana. Pertama, karikatur yang melukiskan kegaduhan "jantung"-nya Indonesia, yakni Jakarta. Secara cerdas, Wahyu Kokkang, sang ilustrator, membandingkannya dengan gelaran Olimpiade Rio 2016, yang kalah pamor.

Sumber: repro koran JP, 9/8/2016 hlm. 4
Sumber: repro koran JP, 9/8/2016 hlm. 4
Celotehan, “Kita ini memang suka menggaduhkan masyarakat, dan memasyarakatkan kegaduhan,” sepertinya sangat pas. Dan hal ini pula yang terjadi dan dilakukan oleh kalangan media sendiri.

Hiruk-pikuk "jantung" negeri itu justru membuat Surabaya ikut terimbas jadi "sesak nafas". Ya, tentu saja karena ada sekelompok massa (entah mengatasnamakan siapa saja) mencoba mengaitkan keberadaan Risma, yang sebelumnya cukup adem ayem di Surabaya untuk bisa dipertarungkan dengan petahana, Ahok di Jakarta. Jadinya, inti berita: “Risma ke Jakarta atau tetap di Surabaya” menjadi topik yang ngetren beberapa hari belakangan ini.

Terkait dengan hal itu, yang kedua adalah kolom Jatidiri (atau Tajuk Rencana atau nama yang lain) yang berada pada halaman yang sama. “Tak Perlu Cemas Ditinggal Risma”, demikian judul yang diberikan oleh redaksi. Kalimat ini tentu bisa ditafsir, “Memangnya Surabaya kalah kelas dengan DKI Jakarta?” Ya, jelas tidak bisa disandingkan begitu dong... Satunya propinsi (tingkat I) dan satunya kota (tingkat II). Memangnya perbaikan yang dilakukan sekarang, ke depan harus ganti orang dari luar daerah yang masih awam dengan situasi kondisi di sana?

“Besar, tidak harus datang dari Jakarta dan diam di Jakarta.” Wacana ini begitu dibanggakan oleh media ini dan terus digelorakan kepada pembacanya. Dan itu pun sudah terbukti dilakukan oleh JP Group. Tapi dalam konteks ini, menjadi ironis jika Ibu Kota sendiri tidak bisa melahirkan pemimpin yang berasal dari rahimnya sendiri. Ambigu juga JP mendorong pemimpin lokal untuk hijrah ke Ibu Kota, yang pada saat yang lain justru mendorong otonomi daerah (lihat The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)).

Dalam ilmu jurnalistik, kolom ini bisa dianggap sebagai suara dari media yang bersangkutan. Gagasan, ide, wacana, harapan; termasuk keluh kesah, ada di sini. Mirip dengan “Dapur Redaksi”, yang hasil akhirnya muncul dalam bentuk suara redaksi seperti itu.

Apa yang menarik di sini? Dua paragraf awal isinya masih netral, yakni soal silang pendapat soal pencaguban Risma. Namun, di dua paragraf selanjutnya bisa jadi lain interpretasinya. “Perlu dipikirkan kepentingan yang lebih besar. Hijrah dari Surabaya untuk memimpin DKI Jakarta jelas naik kelas. ... bisa menjadi bekal penting memperbaiki ibu kota republik. ... dst.”

Sumber: repro koran JP, 9/8/2016 hlm. 4
Sumber: repro koran JP, 9/8/2016 hlm. 4
Di bagian selanjutnya adalah ulasan alur mundur alias flashback. Redaksi menguraikan kepemimpinan Risma di Kota Surabaya. Hingga pada simpulan, “Akan halnya kecemasan Surabaya akan “kenapa-kenapa” setelah ditinggal Risma, ini kekhawatiran berlebihan.”

Memangnya masyarakat Surabaya tidak boleh kuatir kalau Risma diberangkatkan ke Jakarta? Memang e-government sudah diterapkan di banyak lini. Banyak kemudahan dan transparansi demi menghindari calo dan korupsi. Pembangunan fisik terus diupayakan. Partisipasi warga kota terhadap kemajuan Kota Surabaya juga cukup tinggi.

Memang bukan Risma an sich yang melakukannya, seorang diri. Tetapi gebrakan yang dilakukannya memicu pada hal-hal lainnya. Para lansia ter-openi (dilayani, diperhatikan) dengan baik, anak-anak mendapat sentuhan yang lebih lagi, pendidikan dan kesehatan juga mendapat jaminan. Kesejahteraan warga kota begitu dipedulikan.

Sumber: repro koran JP, 9/8/2016 hlm. 4
Sumber: repro koran JP, 9/8/2016 hlm. 4
Memang bagaimanapun, Risma kelak akan hengkang dari kursi L-1. Waktu jua yang akan menghentikan kepemimpinannya di Surabaya. Tapi, sebagaimana janji politiknya, itu berlangsung selama 5 tahun sejak pemilihan wali kota (pilkada serentak) akhir tahun lalu. Dua periode masa jabatan, membatasi seseorang berada di tampuk kekuasaan.

“Surabaya sudah cukup dewasa bila memang akan ditinggal Risma.” Betul, dan kapan pun akan siap. Tapi bukan sekarang, di saat politik masih diwarnai adu kepentingan massa/kelompok yang semu atas nama rakyat (padahal ya...). Bukan di saat yang tepat ketika orientasi pelayanan publik hanya sekadar wacana penarik suara pemilih.

Ahok, si pemimpin Ibu Kota, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, orang yang jujur dan cerdas tentu bisa menilai dan merasakan hasil kerjanya selama ini. Warga Jakarta yang punya gawe ini tak perlu terpengaruh aksi strategi kotor para politisi dan kelompoknya, yang justru bisa merugikannya sendiri.

Nama Risma sudah cukup mendunia secara internasional. Dan itu berawal dari Surabaya, kota yang terus membuatnya bekerja. Kepemimpinan yang lahir dari lokalitas jauh lebih indah dan terasa manfaatnya.

Biarlah’ jantung’ negeri ini terus berdetak, tapi jangan membuat yang lain jadi ikutan ‘sesak’...

-end-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun