Gejolak daerah tentu lebih afdol jika disimak dari pemberitaan lokal, seperti koran nasional yang terbit dari Surabaya, Jawa Pos (JP), yang turut terkesan ambigu dalam pemberitaannya. Pada satu sisi, hasil polling yang dilakukan media ini untuk periode 3-8 Agustus 2016, menempatkan perolehan angka 92% masyarakat menghendaki Risma tetap berada di Surabaya. Hanya 8% yang mendukung Risma maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Sebagaimana hal ini dirilis dalam terbitannya seperti capture berikut.
Pada terbitan hari ini, Selasa 9 Agustus 2016, di halaman opini (hlm. 4), ada dua hal menarik yang didapatkan di sana. Pertama, karikatur yang melukiskan kegaduhan "jantung"-nya Indonesia, yakni Jakarta. Secara cerdas, Wahyu Kokkang, sang ilustrator, membandingkannya dengan gelaran Olimpiade Rio 2016, yang kalah pamor.
Hiruk-pikuk "jantung" negeri itu justru membuat Surabaya ikut terimbas jadi "sesak nafas". Ya, tentu saja karena ada sekelompok massa (entah mengatasnamakan siapa saja) mencoba mengaitkan keberadaan Risma, yang sebelumnya cukup adem ayem di Surabaya untuk bisa dipertarungkan dengan petahana, Ahok di Jakarta. Jadinya, inti berita: “Risma ke Jakarta atau tetap di Surabaya” menjadi topik yang ngetren beberapa hari belakangan ini.
Terkait dengan hal itu, yang kedua adalah kolom Jatidiri (atau Tajuk Rencana atau nama yang lain) yang berada pada halaman yang sama. “Tak Perlu Cemas Ditinggal Risma”, demikian judul yang diberikan oleh redaksi. Kalimat ini tentu bisa ditafsir, “Memangnya Surabaya kalah kelas dengan DKI Jakarta?” Ya, jelas tidak bisa disandingkan begitu dong... Satunya propinsi (tingkat I) dan satunya kota (tingkat II). Memangnya perbaikan yang dilakukan sekarang, ke depan harus ganti orang dari luar daerah yang masih awam dengan situasi kondisi di sana?
“Besar, tidak harus datang dari Jakarta dan diam di Jakarta.” Wacana ini begitu dibanggakan oleh media ini dan terus digelorakan kepada pembacanya. Dan itu pun sudah terbukti dilakukan oleh JP Group. Tapi dalam konteks ini, menjadi ironis jika Ibu Kota sendiri tidak bisa melahirkan pemimpin yang berasal dari rahimnya sendiri. Ambigu juga JP mendorong pemimpin lokal untuk hijrah ke Ibu Kota, yang pada saat yang lain justru mendorong otonomi daerah (lihat The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)).
Dalam ilmu jurnalistik, kolom ini bisa dianggap sebagai suara dari media yang bersangkutan. Gagasan, ide, wacana, harapan; termasuk keluh kesah, ada di sini. Mirip dengan “Dapur Redaksi”, yang hasil akhirnya muncul dalam bentuk suara redaksi seperti itu.
Apa yang menarik di sini? Dua paragraf awal isinya masih netral, yakni soal silang pendapat soal pencaguban Risma. Namun, di dua paragraf selanjutnya bisa jadi lain interpretasinya. “Perlu dipikirkan kepentingan yang lebih besar. Hijrah dari Surabaya untuk memimpin DKI Jakarta jelas naik kelas. ... bisa menjadi bekal penting memperbaiki ibu kota republik. ... dst.”