Mohon tunggu...
Hendi Wisma
Hendi Wisma Mohon Tunggu... Profesional -

Just ordinary person who love love love his family. Working as Mechanical Designer as passion. Sometimes play guitar, sometimes piano, and another time writing as hobby.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jalan-jalan ke Baduy Dalam

12 Juni 2015   02:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian kamipun melanjutkan perjalanan di etape terakhir. Namun, sekitar pukul 16:30 hujan turun rintik-rintik, dan kami mempercepat langkah kami sambil tetap berhati-hati karena jalan setapak berbatu menjadi licin. Kami sempat berteduh di rumah-rumah tua yg berpenghuni di dekat perbatasan sebelum masuk daerah Baduy Dalam. Kami tidak dapat berlama-lama berteduh karena waktu sholat Ashar juga semakin sempit dan jarak kampung Baduy dalam juga tidak terlalu jauh lagi. Kemudian kami mulai berjalan lagi dan melewati jembatan bambu lagi tanda memasuki wilayah Baduy Dalam. Mulai dari jembatan gerbang masuk ini kami tidak dipekenankan mengambil foto atau gambar di area Baduy Dalam.

Waktu menunjukkan hampir pukul 17:30, dan kamipun langsung menuju sebuah rumah yang berukuran agak besar yang akan menjadi barak penginapan kami malam ini. Kamipun langsung meletakkan tas-tas dan perbekalan kami di pinggir-pinggir dekat dinding bagian dalam rumah tsb. Banyak yg belum menunaikan sholat Ashar waktu itu. Lalu kami buru-buru berwudhu di sungai dan menunaikan sholat Ashar berjamaah. Setelah sholat ashar, kondisi mulai agak santai, dan kamipu merapikan barang di sisi dinding tembok. Ada juga yang mengambil perlengkapan mandi karena mau gosok gigi dan mandi di sungai. Tak lama kemudian kami menunaikan sholat Maghrib berjamaah juga.

Malam itu jarang peserta yang keluar rumah karena sumber cahaya yang minim di luar barak. Perlu diketahui bahwa di kampung Baduy dalam ini tidak dialiri listrik dan masyarakat Baduy Dalam sendiri juga mempertahankan hidup dengan cara yang tradisional seperti ini. Sebagian besar peserta menghabiskan waktu di dalam barak untuk berbincang dengan sesama peserta, atau berbincang dengan org Baduy sambil memilih buah tangan yang ditawarkan oleh orang Baduy Dalam, sambil beristirahat. Oleh-oleh yang ditawarkan ada yg berupa gantungan kunci berbentuk sandal japit yg terbuat dari batok kulit kelapa, pulpen kayu dll. Harganya hanya Rp 5000,-/buah saja dan hampir semuanya dibuat dari bahan-bahan alami yg didapat dari alam sekitarnya.

Setelah sholat Isya dan makan malam, ada juga yg masih mengobrol ngalor-ngidul dengan penduduk Baduy Dalam. Saya ikut nimbrung ngobrol sambil mengajukan beberapa pertanyaan seperti wartawan. Saya bertanya tentang angka yang digunakan sehari-sehari. Kemudian mereka menjelaskan angka secara berurutan Kasa (1), Karo (2), Katiga. Ketiga angka tersebut adalah angka awal atau disebut dg awalu. Kmd dijelaskan lagi angka berikutnya yaitu Sapar (4), Kalima (5), Kaenem (6), Kapitu (7), Kadalapan (8), Kasalapan (9), Kasapuluh (10), Kapitlemah, Kapitkayu dsb. Mereka juga menceritakan bahwa kalau bermain angklung tidak boleh sambil bernyanyi, entah saya tidak menanyakan mengapa. Bahasa yang mereka gunakan mirip dg campuran Bahasa Indonesia, Sunda, Jawa dan Arab. Dialeknya lebih dekat dengan Sunda-Banten dan tidak mengenal budaya tulis-menulis. Meskipun tidak beragama Islam, namun pengaruh Islam masih dapat dirasakan dari kata-kata yang mereka gunakan. Kepercayaan masyarakat Kanekes disebut sbg Sunda Wiwitan yang berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangannya dipengaruhi oleh agama lain seperti Islam, Hindu dan Budha. Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes adalah keturunan dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari 7 dewa/batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering dihubungkan dg Nabi Adam sebagai nenek moyang yang pertama. Menurut kepercayaan mereka juga, Adam dan keturunannya termasuk warga Kanekes memiliki tugas utk bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pagi-paginya sekitar pukul 04:00 sudah banyak yang saling membangunkan supaya bisa sholat Subuh berjamaah. Dingiiin sekali pagi waktu itu. Sayapun mulai bangkit melawan dingin. Brrrr, saya berjalan menuju sungai untuk buang air kecil dan berwudhu dg membawa senter. Sambil menerka arah yg ditujukan oleh rekan yg sudah balik dari sungai, saya menerka jalan ke sungai di antara rumah-rumah penduduk yang gelap sambil membawa senter beserta beberapa rekan lainnya. Kemudian kami berwudhu menggunakan air sungai yang dingin dan kembali ke barak untuk menunaikan sholat Subuh berjamaah. Setelah sholat subuh, kami berbincang sejenak untuk kemudian berjalan-jalan menikmati eksotisme Kampung Baduy Dalam di pagi hari.

Pola perkampungan mereka dibangun di tepi sungai atau mata air, tetapi mereka tidak mempunyai kamar mandi atau tempat mencuci khusus di dekat rumahnya. Untuk kebutuhan air seperti untuk memasak dan mencuci mereka harus pergi ke tampian. Mereka membawa air dan memasak dengan menggunakan alat yang disebut somong dan kele. Keduanya terbuat dari bambu yang berbeda ukuran dan desainnya. Somong terbuat dari bambu yang besar dan terdiri dari beberapa ruas/buku.

Gelasnya terbuat dari awi temen/bambu yang sdh kering yg dipotong menyerupai cangkir. Bagian badannya, 3/4 bagian kulit bambu/hinis dihilangkan. Badan cangkir ada yang dibentuk misalnya berupa potongan patah-patah agak bergerigi dan mengecil di bagian bawah sebagai pegangan. Di sekeliling bibir cangkir masih ada kulit bambu agar nyaman di bibir. Bambu yang sudah kering sangat baik untuk dijadikan bahan cangkir.

Salah satu karya lainnya adalah tempat lilin dari cagak kai harendong yang berbentuk siku. Batang yg memanjang tersebut dibelah agar diperoleh penampang yang rata utk dudukan lilin.

Desain sendok sama seperti yang biasa kita gunakan, hanya bahannya terbuat dari tempurung/batok kelapa yang diikatkan pada batang bambu sebagai alat untuk memegangnya. Alat makannya berupa mangkuk dari tempurung. Kini di antara dari mereka ada yg menggunakan bahan dari plastik, terutama untuk menuangkan mie rebus.

Mandi, buang air kecil dan buang air besar dilakukan di sungai, tentu ada lokasi-lokasi tertentu untuk masing-masing kegiatan supaya tidak mengotori kegiatan satu sama lain.

Cara memasak air yaitu dengan alat yang disebut dalang atau seeng di saung huma cukup unik. Saung huma hanya digunakan pada waktu tertentu, misalnya musim panen. Oleh karena itu, beberapa pemilik saung huma membuat hawu sementara menggunakan bahan seadanya dengan cara mengikatkan dua batang bambu secara horizontal dan sejajar pada sebuah tiang. Salah satu ujungnya diikatkan pada batang kayu atau bambu, misalnya pada tiang saung huma, tiang penyangga golodog, batang pohon atau sengaja dibuat tiang khusus. Adapun ujung-ujung yang lain dibiarkan terbuka atau menganga. Lalu bagian leher dari dalung tersebut dimasukkan dari arah depan atau ujung yang menganga hingga tepat di atas perapian digantungkan dengan cara dijepitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun