Kolaborasi penanganan pangan yang tepat diyakini mampu menjadi titik tolak kebangkitan ekonomi yang mampu membebaskan dunia dari jeratan krisis.
Food and Agriculture Organization (FAO) atau organisasi pangan dan pertanian melaporkan, sedikitnya ada 970 ribu orang diperkirakan berisiko kelaparan di lima negara Asia dan Afrika. Kelima negara tersebut adalah Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman.
Jika merujuk data terakhir tentang ketahanan pangan dan gizi dari FAO, pada 2021 terdapat 828 juta orang kelaparan, sedangkan 3,1 miliar orang tidak mampu membeli atau mendapatkan makanan yang sehat dan layak. Kondisi tersebut tentu akan semakin memburuk jika tidak ada tindakan yang diambil. Lebih lanjut, FAO memproyeksikan sepanjang Oktober 2022 hingga Januari 2023 kerawanan pangan tingkat akut secara global akan terus meningkat.
Bertepatan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia 2022 FAO mengusung tema “No One Left Behind” atau "Tidak ada satupun yang tertinggal”. Tema itu jelas memiliki kaitan dengan konteks krisis ketahanan pangan global yang kini kian memburuk dan sedang dirasakan saat ini.
Sementara itu, dalam Global Report on Food Crisis (GFRC) 2022 diperkirakan pada periode tersebut akan ada 205 juta orang di 45 negara yang berpotensi menghadapi kerawanan pangan akut dan membutuhkan bantuan pangan yang mendesak. Kalau dijumlahkan dari data terbaru pada 2021, diperkirakan akan mencapai 222 juta orang di 53 negara yang tercakup dalam GFRC 2022.
Jika dibanding dengan kasus serupa yang terjadi sebelumnya, krisis saat ini memang cukup memprihatinkan. Jumlah tersebut juga tercatat menjadi yang tertinggi dalam tujuh tahun sejarah laporan. Melonjaknya harga pangan, energi, pupuk, hingga konflik Rusia-Ukraina kian memperburuk situasi yang sebelumnya telah berada dalam kondisi tidak baik akibat dampak pandemi Covid-19.
Dan yang terjadi saat ini, secara implisit, menegaskan adanya keterkaitan erat antara poros perekonomian dunia dan kehidupan antarnegara. Sehingga sudah semestinya, masyarakat dunia memiliki kesadaran untuk mau partisipasi secara aktif dan bergotong royong agar bisa segera keluar dari kesulitan.
Sebagaimana diungkapkan Direktur Jenderal FAO QU Dongyu dalam pidatonya baru-baru ini bahwa dalam menghadapi krisis pangan global perlu kiranya memanfaatkan kekuatan solidaritas dan momentum secara kolektif. Itulah sebabnya, Dongyu segera mengutarakan keinginannya membangun masa depan yang lebih baik, agar setiap orang dapat memiliki akses cukup untuk memperoleh makanan yang bergizi.
Ketahanan Pangan Indonesia
Mencermati perkembangan krisis ketahanan pangan global yang terjadi, sejatinya warga di tanah air sungguhlah patut bersyukur. Betapa tidak. Indonesia kini masuk dalam kategori negara dengan kekuatan ketahanan pangan yang baik.
Tentu itu bukanlah tanpa sebab. Sebagai negara agraris, Indonesia dikaruniai tanah yang subur, air yang cukup, serta sebagian besar penduduknya bertani. Dalam tiga tahun terakhir, tercatat bahwa kebutuhan pangan dalam negeri bisa tercukupi. Apresiasi pun diberikan FAO, dengan menyebut Indonesia sebagai contoh yang baik bagi negara lain, terkait pengelolaan ketahanan pangan.
Di Indonesia sendiri, hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UUD Tahun 1945 maupun dalam Deklarasi Roma pada Tahun 1996. Pertimbangan tersebut juga mendasari terbitnya UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Tidak sampai di situ, pemerintah secara intens juga memonitor dan mengevaluasi penerapan kebijakan pangan nasional, agar sesuai dengan kondisi terkini. Langkah itu dilakukan semata agar kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi.
Seperti dilansir dari laman website bulog.go.id, ketahanan pangan yang dimaksud merujuk pada UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan. Di mana disebutkan, ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Salah satu pondasi kuat dalam upaya menjaga ketahanan pangan adalah penguatan stok beras. Lebih lanjut, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional juga menugaskan Perum Bulog melakukan fleksibilitas harga untuk pembelian gabah dan beras.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapat Koordinasi Terbatas tentang kebijakan pangan, pada September lalu, menjelaskan bahwa pada Agustus 2022, bahan makanan mengalami deflasi sebesar 2,64% (month to month). Secara rinci, komoditas bahan makanan yang memberikan andil deflasi pada Agustus 2022 adalah bawang merah 0,15%, cabai merah 0,12%, cabai rawit 0,07%, minyak goreng 0,06%, daging ayam ras 0,06%, tomat 0,03%, ikan segar, jeruk dan bawang putih masing-masing 0,01%.
Sementara itu, komoditas yang memberikan andil dalam inflasi yaitu telur ayam ras dan beras, masing-masing 0,02%. Itulah sebabnya, Airlangga memastikan, semua bahan pangan aman dan tersedia hingga akhir tahun 2022.
Solusi Ketidakpastian Global
Krisis pangan terus menjadi perhatian forum G20, salah satunya melalui pertemuan G20 bertemakan Joint Finance and Agriculture Ministers (JFAMM) yang pertama di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (11/10/2022). Pertemuan itu fokus pada membahas permasalahan ketahanan pangan dunia.
Dalam forum tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, Presidensi G20 Indonesia telah menegaskan komitmennya untuk menggunakan semua perangkat kebijakan yang tepat untuk mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan saat ini. Termasuk, risiko akibat terjadinya kerawanan pangan.
Menanggapi hal tersebut, beberapa inisiatif global telah diluncurkan oleh berbagai organisasi regional, internasional, hingga inisiatif mandiri dari beberapa negara untuk menghadapi permasalahan ketahanan pangan. Sebut saja, organisasi seperti the UN Global Crisis Response Group (GCRG), the G7 Global Alliance for Food Security (GAFS), the Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP), International Finance Institutions Action Plan, dan Global Development Initiative.
Sejalan dengan itu, Bank Dunia telah berkomitmen menyediakan 30 juta dolar AS dalam pendanaan baru atau yang sudah ada bagi proyek terkait ketahnan pangan dan nutrisi, untuk beberapa tahun ke depan. Sementara itu FAO turut menyediakan perkembangan kondisi pasar pangan, termasuk melalui G20 Agricultural Market Information System (AMIS).
Pada forum itu, para menteri keuangan dan menteri pertanian anggota G20 menegaskan kembali komitmennya untuk memanfaatkan semua perangkat kebijakan dalam mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan saat ini, termasuk ketahanan pangan. Masih dalam forum yang sama, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan bahwa forum itu efektif untuk menjawab tantangan global menghadapi kerawanan pangan.
Presidensi G20 Indonesia sendiri menerapkan sejumlah strategi demi meningkatkan kapasitas produksi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menstabilkan harga pangan, menekan laju inflasi, menurunkan impor, dan meningkatkan ekspor pangan nasional.
Sementara itu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) meyakini bahwa Presidensi G20 Indonesia akan memberikan solusi konkret mengatasi ketidakpastian global. Presiden Jokowi mengatakan, kita harus membangun dunia yang lebih mampu dalam mengatasi ketidakpastian dan tantangan ke depan.
Terakhir, Presiden Jokowi kembali mengingatkan, krisis pangan yang terjadi antara perang Rusia dan Ukraina serta dampak pandemi yang belum pulih 100 persen. Untuk itu, Indonesia telah menyiapkan strategi untuk menciptakan ketahanan pangan.
Pembangunan infrastruktur pendukung produksi pertanian nasional, seperti bendungan, embung, dan jaringan irigasi salah satu upaya negara menjaga ketahanan pangan nasional. Sehingga, kesejahteraan masyarakat bisa terwujud secara nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI