Air untuk mengairi Proyek Irigasi Bandjar Tjahjana diambil dari Sungai Serayu yang dibendung di dusun Legok Desa Rejasa (Mungkin di sekitar Surya Yudha Park Banjarnegara), sebuah desa sebelah utara Banjarnegara. Saluran airnya menembus beberapa perbukitan dan menembus di bawah sungai lain yaitu Sungai Merawu di Desa Jenggawur. Di sini saluran air harus dibuatkan syphon (gorong-gorong dari pipa). Â Air Sungai Serayu dibendung tepat setelah aliran Sungai Serayu membelok jadi volume air besar dan deras. Kemudian air langsung menembus bukit dan dikeluarkan pada dinding bukit dari sisi yang lain, dimana di sana juga terdapat Sungai Merawu yang mengalir dari Pegunungan Dieng. Menurut Prof. Purnawan Basundono, orang Belanda pada waktu itu telah melakukan penelitian bahwa air dari Sungai Merawu tidak cocok untuk tanah pertanian sehingga Belanda dengan pekerja paksa pribumi bersusah payah membuat terowongan air di bawah Sungai Merawu.
Tidak itu saja, mereka juga membuat selokan hingga kedalaman 3-15 meter dan lebar hingga 10 meter, bahkan di daerah Kemangkon dibangun parit dengan cara membuat gundukan tanah. Sepanjang daerah Jenggawur hingga Rakit yang merupakan daerah perbukitan pun digali dan dikepras untuk mengalirkan air di atasnya.
Ini adalah proyek luar biasa besar dimana pekerjanya adalah orang Pribumi dan dikerjakan selama 5 tahun. Panjang proyek ini dari Banjarnegara hingga Bokol kurang lebih adalah 50 Km. Menghabiskan biaya f 1.700.000 (1,7 juta florijn atau bisa disebut Gulden (gold) Belanda, dulu kode mata uang f ini diambil dari kata florijn) dari yang di perkirakan hanya menghabiskan f 1.350.000dikarenakan medan yang sangat sulit untuk membuat saluran irigasi di lembah dan transportasinya.
Kini yang masih tersisa hanyalah saluran air yang masih mengalir deras di pinggir lapangan dan di depan halaman perumahan warga, mengalir hingga melewati jalan raya perbatasan Bukateja (Purbalingga) ke Klampok (Banjarnegara).
Sekitar lima belas menit kami di sini dan dengan seksama para peserta Jelajah Banjoemas mendengarkan penjelasan dari ketua rombongan yaitu Mas Jatmiko Wicaksono. Perjalanan berikutnya menuju bekas jembatan tambangan yang kini sudah tidak tersisa jejaknya. Sebelumnya, sepeda motor yang berjumlah banyak tadi harus melewati jalan sempit di tengah permukiman warga sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H