Lingua Franca
Istilah lingua franca pertama kali saya dengar mungkin dari guru saya di SMP 2 Bogor pak Muhammad Enoch dan pak Suis Radjab, keduanya guru bahasa Indonesia, atau mungkin juga dari pak Umar Said, guru bahasa Indonesia SMA 2 Bogor.
Nyontek dari wikipedia, lingua franca (bahasa Latin yang artinya "bahasa bangsa Franka"), sebuah istilah linguistik yang artinya "bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda.
Zaman sekarang bahasa Indonesia umum dipakai dari Sabang sampai Merauke. Di Aceh, apalagi Sumatera Utara, Minangkabau, Riau, Â Sumatera Bagian Selatan, pesisir Kalimantan, pesisir Sulawesi, Â juga orang-orang pesisir di kepulauan Sunda Kecil (diganti oleh Bung Karno menjadi Nusa Tenggara) dan Maluku, Â dari dulu masyarakatnya mampu bicara bahasa Melayu, cikal bakal bahasa Indonesia.
Di Jawa lain lagi ceritanya. Pada masa kolonial hanya di Tanah Betawi, di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai utara dan di perkotaan bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pergaulan. Di wilayah Jawa lainnya dari Banten sampai Jawa Timur saat itu sangat dominan penggunaan bahasa Sunda, Jawa dan Madura. Bahasa Melayu baru digunakan oleh kelompok 'elit', birokrat, kaum terpelajar dan para pendatang yang tidak menguasai bahasa pribumi Sunda, Jawa dan Madura.
Sampai tahun 1960-an di Jawa Barat, setelah bahasa Melayu resmi diadopsi menjadi bahasa Indonesia -berkat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928-, bahasa persatuan ini masih terasa sebagai bahasa sekolahan, digunakan keluarga yang relatif terpelajar, yang umumnya pendatang dari luar Tanah Pasundan, seperti orang Jawa,Tapanuli, Minang, Tionghoa. Saya sendiri baru lancar berbahasa Indonesia ketika duduk di kelas 3 SD, tahun 1963.
Tahun 1960-an awal orang Sunda di pedesaan boleh dikata masih belajar bahasa Indonesia, yang di kalangan warga Pasundan saat itu masih umum disebut bahasa Melayu. Simak ungkapan guyonan orang Sunda yang dimuat sebuah media berbahasa Sunda saat itu: "Si Ibro lari ketakutan sampai tipaparetot". Bahasa Indonesia bernuansa Sunda ini artinya "Si Ibro ketakutan sampai lari terbirit-birit".
Seorang teman sebaya  asal Pati, Jawa Tengah, bercerita pada tahun 1960-an, waktu SD kelas awal mereka masih pakai bahasa Jawa, sambil belajar bahasa Indonesia di kelas. Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu sangat lekat dengan anak-anak usia SD di kota teman saya tersebut.
Saat ini kita saksikan tanpa paksaan bahasa Indonesia telah cukup merata digunakan di seluruh Indonesia. Di Irian Jaya yang sekarang disebut Papua, bahasa Indonesia digunakan sebagai lingua franca karena puluhan atau mungkin ratusan bahasa lokal tidak saling dimengerti oleh suku-suku bangsa yang ada di sana.
Lingua Franca yang Lain
Zaman berkembang, pikiran dan kebutuhan warga meluas melampaui tapal batas negara. Kita saksikan munculnya sekolah plus yang serius mengajarkan dan mewajibkan murid-murid bicara bahasa Inggris dan atau Mandarin selain bahasa Indonesia. Dua bahasa ini lingua franca yang dibutuhkan dalam pergaulan global, disamping mungkin munculnya kebanggaan menunjukkan jati diri.