[caption caption="Pekanbaru 7 September pukul 10 pagi"][/caption]
Sudah sebulan kabut asap akibat kebakaran atau pembakaran (?) lahan hutan dan lahan perkebunan melanda Provinsi Riau dan Jambi. Berita di media pernah melaporkan 80% udara Sumatera diselimuti kabut asap, penyakit ISPA menjadi langganan masyarakat Riau dan Jambi dan beberapa lokasi di luar provinsi itu yang terdampak asap kebakaran atau pembakaran lahan, seperti di Gunung Sitoli, Pulau Nias. Penerbangan dari dan ke Pekanbaru, Jambi, Kuala Namu, bahkan Palembang terganggu, banyak penerbangan dibatalkan, demikian pula di Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan kabut asap melanda bagian barat Provinsi Sumatera Utara tersebut. Penumpang pesawat terbang rute Padang Sidempuan dan Sibolga menuju Kuala Namu terpaksa berpindah ke moda angkutan darat yang ditempuh dalam waktu 12 jam menuju pantai timur Sumatera Utara.
Jarak pandang hanya 50 meter, udara bersih yang dihirup tinggal 5%, penduduk Riau terancam kesehatan paru-parunya pada waktu yang akan datang. Kekhawatiran warga Riau dan Jambi akhirnya naik level menjadi kemarahan karena tak pernah tuntasnya pemberantasan kebakaran atau pembakaran lahan perkebunan dan hutan di kedua provinsi itu.
Sekitar seminggu lalu sebuah broadcast surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo, berjudul SURAT RIAU dan JAMBI UNTUK INDONESIA. Ditulis bahwa titik api di Riau dan Jambi bukan simbol kemarahan Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, tapi simbol keserakahan dan ketidakpedulian negara terhadap daerah. Mereka bertanya apakah Presiden Jokowi akan datang ke Riau/Jambi? Bandara ditutup pak, kalau jalan darat bahaya, asap tebal di mana-mana, nanti mengganggu kesehatan Presiden. Biarkan Jambi dan Riau menjadi lahan Sawit dan (hutan) tanaman industri. Mereka pasrah, tidak berdaya, udara Jambi dan Riau sudah status bahaya, Pekanbaru tidak layak huni. Â Mereka juga berterimakasih atas doa saudara-saudaranya setanah air di provinsi lain yang berdoa agar musibah kabut asap segera berakhir.
Sejumlah warga Jambi demontrasi menuntut Pemdanya agar bertindak segera memadamkan kebakaran lahan, artinya juga mendemo Pemerintah Pusat. Sejumlah warga Riau 'melapor' minta bantuan ke Konsulat Malaysisa di Pekanbaru dengan harapan pasukan BOMBA, pasukan pemadam kebakaran Malaysia akan membantu memadamkan kebakaran lahan di Riau. Lha memangnya Indonesia tak punya "aparat" yang mampu memadamkan kebakaran dan pembakaran lahan?
Bukankah kita punya Badan Nasional Pemberantasan Bencana (BNPB), kita juga punya BPPT yang ahli bikin hujan buatan, masih ada Dinas Kehutanan dan Perkebunan di setiap provinsi dan kabupaten, masih ada Polri/Polda/Polres, masih punya TNI/Kodam/Korem/Kodim, masih punya Bupati, Walikota dan Gubernur yang perannya kuat di zaman otonomi daerah seperti sekarang, masih punya helikopter dan pesawat terbang untuk melakukan pemboman dengan air, masih ada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, masih ada Kementerian Pertanian, masih punya Kejaksaan Agung di Jakarta, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di ibukota provinsi sampai di kota /kabupaten dan tentu masih punya Menteri Koordinator dan Presiden.
[caption caption="Darurat kabut asap di jambi - September 2015"]
Begitu banyak orang terdidik dalam bidangnya, bertahun-tahun kebakaran dan pembakaran lahan terus berlangsung dengan segala dampaknya. Yang paling nyata terlihat kabut asap yang mengganggu kesehatan dan aktivitas warga, yang belum terlihat adalah musnahnya sebagian keragaman hayati sumber plasma nutfah Indonesia, karena hutan mulai musnah, akibat pembalakan liar maupun legal, akibat konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit, akibat konversi hutan alam menjadi hutan tanaman industri. Bahkan hutan lindung dan suaka alam pun terancam dirambah untuk dijadikan kebun kelapa sawit.
Segitu pesatnya bisnis Kelapa Sawit di Riau dan Jambi, apakah dampaknya tak pernah dipikirkan oleh para eksekutif di Pemerintahan, di pusat maupun daerah? Apakah masukan dari warga masyarakat terkait dampak lingkungan konversi besar-besar hutan alam menjadi kebun diabaikan begitu saja demi fulus? Tak tahulah awak, karena kejadiannya sudah berlangsung berpuluh tahun, mau menyalahkan siapa?
Tahun lalu Pak Jokowi berkunjung blusukan ke Riau ketika kebakaran lahan menimbulkan bencana asap. Minggu lalu Presiden juga blusukan ke Sumatera Selatan meninjau bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Kemarin muncul berita Kepala BNPB Samsul Maarif diganti oleh Willem Rapangile, tentu Presiden menginstruksikan agar Kepala BNPB yang baru mampu mengatasi bencana kabut asap secepat mungkin, terkoordinasi dengan instansi-instansi lain. Pekerjaan mengatasi kabut asap di Sumatera dan Kalimantan bukan hanya pekerjaan memadamkan api secara harfiah. Harus dicari akar masalah yang paling seakar-akarnya sebetulnya apa?
Apakah benar ada pembakaran lahan secara sengaja oleh perusahaan perkebunan? Apakah sudah ditangkapi para pembakar lahan dan hutan tersebut? Tugas polisi dan jaksa mengejar mereka, usut jangan hanya petani pekebun saja, usut juga bila ada perusahaan-perusahaan besar yang terlibat. Bila perlu diperiksa pemberian izin konversi sudah melalu analisis AMDAL atau tidak?
Menko Polkam yang bertampang tegas dan suaranya keras sangat pantas untuk mengkoordinir kasus kebakaran lahan dan hutan yang selalu berulang selama bertahun-tahun. Jika terkait dengan pelanggaran hukum tindak tegas para pelakunya sampai pemilik perusahaannya, bila urusannya memadamkan api secara fisik Menko Polkam juga bisa mengerahkan TNI AU untuk memadamkan api dari udara,  libatkan kembali BPPT mengusahakan hujan buatan. Semua kementerian teknis, Bupati, Gubernur dan dinas di provinsi yang terkait dengan pengusahaan kebun sawit dan HTI harus lebih berhati-hati memberikan izin konversi hutan alam menjadi kebun sawit atau sebenarnya mantan hutan alam yang sudah gundul dialihkan menjadi  kebun sawit? Bencana kabut asap ini lama-lama mengganggu hankam juga.
SOS kabut asap untuk Riau dan Jambi dan sekitarnya. Jangan sampai timbul pertanyaan konyol ketika kabut asap masih menyerang Riau dan Jambi tahun depan, apakah 6 juta penduduk Riau dan 3 juta penduduk Jambi akan dievakuasi keluar dua provinsi itu agar terhindar dari bencana asap? Â Mau mengerahkan berapa ratus kapal dan bis? Mudah-mudah akar masalahnya segera diungkap dan dilakukan tindakan pencegahan yang benar-benar masif, jangan lagi terulang tahun depan.
Bisa ngga ya? Ini baru Sumatera, belum Kalimantan. Mudah-mudahan tidak merembet ke Papua, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya. Hutan harus dijaga kelestariannya ternyata bukan omong kosong, begitu hutan gundul atau dikonversi besar-besaran baru terasa dampaknya, mulai asap sampai kekeringan, kekurangan air bersih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H