[caption caption="Kompasiana Nangkring bersama BPJS - 30 Juli 2015"][/caption]
Pada bulan April 2013 saya berobat ke dokter internist cardiolog, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang juga ahli jantung di sebuah rumah sakit swasta di Depok. Ketika saya informasikan saya ikut asuransi kesehatan dengan sebuah perusahaan asuransi ternama, tapi tidak termasuk kasus penyakit jantung dan pembuluh darah, pak dokter kaget dan mungkin kasihan melihat saya. Dokter yang baik hati itu cerita mau ngga saya pindah status menjadi penduduk Aceh, karena Pemerintah Aceh menjamin biaya pengobatan seluruh penduduknya, termasuk kasus-kasus penyakit jantung yang biayanya mahal bahkan sangat mahal.
Bukan omong kosong rupanya tawaran pak dokter, ia memberi saya nomor telepon yang sewaktu-waktu dapat dihubungi bila saya mau alih status menjadi penduduk Aceh. Sampai hari ini saya tidak memproses tawaran tersebut, bukan apa-apa hati ini rasanya malu pindah status menjadi warga Aceh -dan tetap tinggal di Jabodetabek-, malu merasa tidak punya hak, walaupun saat itu ingin juga karena khawatir bila kena kasus jantung (lagi) yang biayanya sangat mahal.
Alhamdulillah sejak 1 Januari 2014 Pemerintah Republik Indonesia telah mentransformasi PT Askes (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, sebuah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia. Saya tegaskan Presiden Republik Indonesia, karena di Indonesia banyak organisasi yang pimpinan tertingginya disebut Presiden juga he he he. Misalnya Presiden PSSI, Presiden grup perusahaan.
Menurut pasal 14 UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS, seluruh penduduk Indonesia, termasuk pekerja WNA yang bekerja paling sedikit 6 bulan di Indonesia wajib ikut BPJS Kesehatan. Rupanya inilah jalan keluar sebagai penjamin kesehatan saya seandainya suatu hari mendapat kasus sakit berbiaya tinggi karena keterbatasan kemampuan keuangan maupun karena jaminan asuransi yang polisnya saya miliki tak menjamin penyakit tertentu yang berbiaya mahal tersebut. Saya mendaftarkan diri saya, isteri dan anak terkecil menjadi peserta BPJS di Kantor Cabang BPJS Depok, biayanya Rp 59.500/orang/bulan. Alhamdulillah pula setelah hampir 10 bulan menjadi peserta belum pernah menggunakan kartu BPJS untuk berobat baik ke Puskesmas maupun ke rumah sakit rujukan.
Yakinkah saya bahwa BPJS Kesehatan akan menanggung biaya sakit saya -dan warga Indonesia lainnya- bila jatuh sakit dan terutama bila menderita sakit yang memerlukan tindakan perawatan yang biayanya mahal? Semahal apa? Misalnya kasus tindakan perawatan sakit jantung yang biayanya bisa puluhan juta bahkan ratusan juta? Hanya Allah yang tahu persis, namun saya percaya apa yang dikatakan Dokter Ikhsan dari BPJS Kesehatan -Kepala Grup Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga- ketika presentasi pada acara Kompasiana "Nangkring Bersama BPJS Kesehatan", Kamis 30 Juli 2015, di gedung Kompas, Jakarta Barat, bahwa BPJS Kesehatan menanggung biaya perawatan dan tindakan dokter untuk kasus "mahal".
Paling tidak ada dua kasus "mahal" perawatan dan tindakan dokter yang saya peroleh infonya langsung dari tangan pertama :
- Beberapa bulan lalu tahun 2015, seorang teman berprofesi guru SMA negeri di Bogor tiba-tiba merasa sesak nafas ketika sedang berkunjung ke rumah keluarganya di Jakarta. Karena khawatir serangan jantung, si sakit dibawa ke rumah sakit Harapan Kita, sebuah rumah sakit rujukan nasional untuk penyakit jantung dan pembuluh darah. Singkat cerita diketahui ada penyempitan pembuluh darah jantung dan tindakan yang dilakukan adalah dipasang stent (ring) pada pembuluh darah yang tersumbat. Berapa biayanya? Teman saya cerita hampir nol rupiah, padahal untuk pemasangan stent yang pernah saya alami di RS Harapan Kita biaya satu stent sekitar Rp 40 - 75 juta rupiah, memang tergantung jenis stent yang digunakan dan mungkin di kelas berapa si pasien dirawat.
- Testimoni kedua yang saya saksikan langsung, ya waktu acara "Nangkring bersama BPJS Kesehatan" di Gedung Kompas, Jalan Pal Merah Barat, Jakarta Barat. Pak Asep dari Tangerang cerita ia punya dua anak penderita penyakit haemofilia, sejenis penyakit kelainan darah akibat kekurangan faktor pembekuan VIII dan IX dalam plasma darah. Pak Asep sudah habis-habisan membiayai pengobatan anaknya, sampai menjual harta benda apapun yang berharga. Setelah ikut BPJS Kesehatan pak Asep merasa sangat terbantu, biaya rutin pengobatan haemofilia kedua anaknya yang berbiaya Rp 40 juta/orang/bulan atau sekitar Rp 80 juta/bulan sekarang ditanggung BPJS Kesehatan. Bayangkan berapa biaya setahun, dua tahun dan seterusnya, mengingat haemofilia sejauh ini bukan jenis penyakit yang mudah disembuhkan.
Konsep jaminan kesehatan BPJS Kesehatan pada prinsipnya adalah konsep pembiayaan secara gotong royong oleh dan untuk seluruh warga Indonesia. Warga Indonesia yang sakit wajib mendaftar agar biaya pengobatan menjadi ringan, warga yang sehatpun wajib mendaftar, paling tidak iuran bulanannya akan membantu saudara-saudaranya yang sakit dan siapa tahu suatu hari iapun akan jatuh sakit dan memerlukan biaya tak sedikit.
Sedikit banggalah awak, adanya BPJS sejak 1 Januari 2014 melambungkan harapan Indonesia pun bisa menjamin kesehatan warganya seperti halnya negara maju di dunia. Soal kualitas relatif, karena fasilitas kesehatan belum merata di Indonesia. Tapi seandainya ditangani di RS Harapan Kita, saya yakin kualitas dokter dan fasilitas di rumah sakit tersebut tak kalah dibanding dokter-dokter di ASEAN, tinggal masalah trust saja. Mau berobat ke RS Harapan Kita atas biaya BPJS atau mau ke pulau Penang atau ke pulau Tumasik dengan biaya tinggi?.
Sedia payung sebelum hujan. Mumpung sehat yuk kita daftar BPJS Kesehatan. Iuran per peserta/ bulannya tinggal dipilih Rp 25.500 (layanan kelas III) atau Rp 42.500 (layanan kelas II) atau Rp 59.500 (layanan kelas I).
Â