Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dikepung Pangan Beracun, Bernarkoba dan Daging Celeng

7 Juni 2015   02:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya kepada Pemerintah, wabil khusus kepada Kepolisian, mulai Bareskrim di Mabes Polri sampai Polisi-Polisi di Polsek-Polsek. Petugas keamanan inilah yang harus mengejar pelaku peracunan masyarakat melalui makanan.

Lembaga teknis seperti BPOM pusat sampai daerah, membantu polisi membuktikan bahwa bahan makanan atau makanan yang disita itu memang berbahaya bagi kesehatan manusia. Balai Karantina di setiap pelabuhan termasuk di Bakauheni, bersama Polisi harus rajin  memeriksa truk, pick up dan bagasi bis apakah membawa daging celeng atau hewan-hewan lain seperti trenggiling.

Masyarakat patut berterimakasih pada media massa yang telah mengekspos kasus makanan nyeleneh ini, membantu menyebarkan pengetahuan praktis, bagaimana mengetahui beras plastik, memberi peringatan agar hati-hati terhadap daging sapi palsu, kue bernarkoba. Wajib berterimakasih pada Polisi, BNN, Balai Karantina, BPOM, IPB, Kementerian Perdagangan, Pemerintah Daerah, Sucofindo, pelapor dan pihak lain yang saya tak hapal satu persatu, yang serius menelisik kasus-kasus aneh tapi jahat ini, sekalipun kasus makanan beracun dan penyelundupan daging celeng dari Sumatera ke Jawa tak pernah benar-benr bisa dihentikan paksa oleh pihak berwenang.

Rakyat seharusnya nyaman memakan baso tanpa dihantui kekhawatiran baso yang disantapnya  mengandung daging celeng, rakyat seharusnya nyaman makan nasi tanpa takut nasi terkontaminasi beras plastik. Bayangkan dampak ekonomi yang terjadi bila masyarakat berhenti belanja atau makan baso, makan tahu, beli ketoprak atau mengurangi makan nasi diganti singkong atau ubi jalar. Tukang mie baso bisa berkurang penghasilannya, tukang siomai, tukang tahu, penjual ketoprak tak laku dagangannya, bisa timbul guncangan ekonomi.

Tapi untuk konversi nasi ke singkong dan ubi kayaknya boleh juga, membantu swasembada beras, tak perlu impor beras lagi dari luar negeri apalagi dari Tiongkok. Hitung-hitung menjalankan pola diversifikasi makanan pokok, yang sudah lama dianjurkan Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun