Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Nature

REDD+, Banjir Jakarta, Waduk dan Hutan di Bogor Atas

27 Januari 2014   08:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

REDD+ REDD+ =  countries’ efforts to  reduce emissions from deforestation and forest degradation, and foster conservation, sustainable management of forests, and enhancement of forest carbon stocks. Hutan ..... hutan .... hutan, pelihara hutan, selamatkan hutan, manfaatkan hutan, jangan merusak hutan. Pertahankan luas hutan yang cukup sebagai daerah tangkapan hujan (catchment area).  Pertanyaannya berapa luas hutan yang ideal di sebuah wilayah? Reduce emission, mengapa emisi harus dikurangi? Apa yang disebut deforestation? Ya penggundulan hutan. Apa yang disebut forest degradation? Hutan rusak lkarena pelbagai sebab. Foster conservation, maksudnya apa? Pembangunan villa liar di kawasan hutan di Puncak Bogor adalah salah satu bentuk penurunan fungsi hutan.  Sustainable management of  forests, sudahkah dilakukan? Hutan produksi berkelanjutan, teoritis bagus, cukup berhasil di hutan Jati Perhutani tapi gagal total di HPH sejak 1970an. Enhancement of forest carbon stocks, stok karbon ditingkatkan buat apa? Hutan menangkap CO2 sebagai unsur kimia yang diperlukan untuk foto sintesa dan hutan sebagai produsen Oksigen harus ditingkatkan. Bila prinsip REDD+ ini diterapkan di kawasan Bogor di sekitar Kaki Gunung Gede - Pangrango dan Gunung Salak? Bagaimana kira-kira kondisi hutan di sana saat ini? Baikkah, idealkah luas dan sebaran hutannya? Bila tidak baik dan tidak ideal, apa penyebabnya? Masih Adakah Hutan di Bogor, Depok dan Jakarta? Sejauh data yang ada di ketiga wilayah ini masih ada hutan lindung dan hutan kota. Di Depok kita mengenal hutan kota di Kampus UI dan tahun lalu Pemerintah Kota Depok menanam 1000 pohon di Lembah Gurame, Depok Jaya, Pancoran Mas sebagai hutan dan taman kota. Dua hutan kota ini tentu saja tidak cukup luas untuk kawasan seluas Depok. lebih-lebih Depok yang dulunya ditumbuhi ribuan pohon buah-buahan sekarang permukaan tanahnya banyak ditutupi aspal, beton dan rumah-rumah, beruntung sebagian besar Kota depok masih bersuasana kampung, masih banyak pohon peninggalan generasi sebelumnya. Di Jakarta lebih-lebih lagi, kawasan kota Jakarta hanya sedikit sekali memiliki hutan dan taman kota yang memadai sebagai daerah resapan air. Pada peta Jakarta di atas ada 9 hutan kota Jakarta, yaitu : Angke-Pluit, Kemayoran, Srengseng (Jakarta Barat), Halim PK, Cilangkap, Ragunan, Setu Babakan, Cibubur dan Hutan UI. Hutan kota di UI sebenarnya berada di dua kota, sebagian masuk Kota Depok, sebagian lagi termasuk Jakarta Selatan. Keberadaan 9 hutan tersebut tidak mencukupi sebagai area resapan hujan, sekalipun ditambah dengan taman-taman kota di perumahan-perumahan. Penertiban dan pembongkaran bangunan-bangunan di bantaran sungai dan menghijaukan kawasan tersebut dengan pohon-pohon adalah tindakan yang ideal. Bagaimana hutan di Kota dan Kabupaten Bogor yang menjadi hulu sungai Ciliwung dan Cisadane? Di Kota Bogor area yang boleh disebut hutan adalah Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian di Darmaga dan kawasan kantor Lembaga Penelitian Hutan Gunung Batu.  Sebelum Kota Bogor berkembang seperti sekarang, beberapa taman kota cukup membantu sebagai daerah resapan hujan, misalnya Taman Kencana dan Kebon Kembang. Sayang Kebon Kembang sekarang tinggal nama sudah lama berubah fungsi, pernah menjadi terminal bis, sekarang menjadi taman rekreasi Taman Topi dan perluasan Pasar Anyar. Yang paling berat kawasan hutan lindung dan hutan konservasi di Ciawi sampai Puncak keberadaannya makin lama makin sempit. Kawasan yang seharusnya tidak boleh dibangun bangunan rumah, dengan pelbagai cara (dulu) disulap menjadi villa, yang akhirnya terpaksa baru-baru ini dirobohkan oleh Satpol PP Kabupaten Bogor, baru 200-an villa yang dibongkar, mudah-mudah akan bertambah signifikan agar kawasan resapan air bertambah luas. Gambar di bawah ini dikutip dari Puncak.com menunjukkan villa liar di kawasan Puncak, konon kebanyakan milik orang Jakarta. Data tahun 2012 disebutkan dalam Perda RTRW, Kabupaten Bogor menetapkan kawasan lindung sebesar 44,69 persen dari luas wilayah seluas 298.833,304 hektar. Artinya luasan kawasan lindung yang ditetapkan adalah 133.548,41 hektar. Kawasan lindung didalamnya terdapat hutan konservasi sebesar 14,24 persen dari luas wilayah Kabupaten Bogor 45.559 hektar dan hutan lindung sebesar 2,93 persen atau 8.745 hektar (kotahujan.com). Dua tahun lalu ramai dibahas di media termasuk Kompasiana rencana perubahan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Bogor yang akan mengubah status hutan lindung menjadi kawasan konservasi, padahal menurut Forest Watch Indonesia saat itu sisa area tertutup hutan di Megamendung, Cisarua dan Ciawi tinggal 12,22 persen saja. Menangkap Air di Hulu Sungai Gonjang ganjing banjir di Jakarta pada Januari 2014  (sebenarnya banjir di Jakarta terjadi setiap tahun) memaksa Gubernur Jakarta melontarkan kembali beberapa wacana lama menangkal banjir dilakukan (bersama wilayah-wilayah penyangga Jakarta). Pertama pembuatan waduk di Depok, tak jelas bagaimana perkembangannya, Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta kelihatannya melempar wacana saja, hanya bicara di koran dan televisi tanpa pernah menemui atau berbicara langsung dengan Walikota Depok.  Wacana besar kedua membuat sodetan dari Ciliwung ke Cisadane (yang akhirnya dibatalkan setelah Gubernur DKI bertemu Wagub Banten, Bupati dan Walikota Tangerang pada 25 Januari 2014 di bendung Cisadane),  sempat membuat geger warga Tangerang karena Bupati dan Walikotanya sebelumnya tak pernah diajak bicara dan kondisi Cisadane saat itu malahan sudah membanjiri sekitar sembilan kecamatan di Kabupaten dan Kota Tangerang. Wacana besar ketiga adalah membuat dua waduk di Cipayung dan Sukamahi, tampaknya disambut baik Bupati Bogor dan Kementerian PU merencanakan pembangunannya mulai tahun 2015. Satu aktivitas penting yang kurang terdengar adalah mempertahankan hutan dan memperluas kawasan hijau di hulu sungai, yang menurut data Forest Watch Indonesia hanya sekitar 12 persen saja kawasan hulu sungai tertutup hutan. Upaya apa yang akan dilakukan Kementerian Kehutanan dan Kabupaten Bogor agar hutan hutan di atas Bogor tetap eksis bahkan seharusnya ditambah dengan kawasan tertutup pohon-pohonan di luar hutan, harus tercermin sebagai bagian rencana pembuatan Waduk Bogor.  Dengan makin lebih pastinya rencana pembuatan waduk seluas sekitar 50 Ha , para perencana jangan lupa memperhatikan tiga  hal yang sangat penting, pertama waduk secara teknis harus aman, jangan sampai jebol karena akan merendam kota Bogor, kedua menjaga hutan lindung yang ada dan memperluas penanaman pohon di sekitar waduk, soal dampak  sosial ekonomi penduduk yang tergusur pembangunan waduk juga harus matang direncanakan jalan keluarnya, bila tidak bukan tidak mungkin karena terdesak kebutuhan nafkah penduduk akan menggunakan lahan konservasi untuk bertani atau aktivitas lainnya yang akan mengurangi daya resap air hujan. Hutan, hutan dan sekali lagi hutan jangan disepelekan. Hutan terpelihara dan tersedia dalam jumlah memadai, andaikan minimal menutupi 30% area Bogor Atas, akan memanjangkan usia waduk dan membantu mengurangi banjir Ciliwung ke kota Jakarta, disamping menunjang implementasi  REDD+, mengurangi efek rumah kaca, menahan laju pemanasan global, yang ujung-ujungnya mengakibatkan perubahan iklim, termasuk terjadinya bencana alam di mana-mana sebagai bagian dampak berubahnya iklim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun