Siapa Lebih Kejam?
Pada diskusi ngom-pol (ngomongin politik) Selasa siang kemarin melalui WA, seorang kawan karib yang tinggal di Surabaya melontarkan pertanyaan, "Siapa yang lebih kejam, PKI atau KMP?".
Weleh-weleh pertanyaan sangat sensitif, maklum nyerempet politik, maklum semua anggota grup WA semasa kecil pernah mengalami gegar politik yang sangat dahsyat sekitar 30 September-1 Oktober 1965, baik sebelum dan sesudahnya. Sebagai anak-anak belum akil balig tentu terlalu muda untuk mengerti politik, tapi sudah cukup usia untuk mampu mengingat apa yang dilihat di sekitar tempat tinggal masing-masing.
Apa jawaban atas pertanyaan "Siapa yang lebih kejam, PKI atau KMP?". Jawaban langsung terbelah dua bak cerminan situasi di masyarakat Indonesia saat ini menanggapi UU Pilkada yang baru disahkan DPR pada 26 September 2014.
Jawaban 'kelompok' 1:
- PKI lebih kejam dari KMP, mereka melakukan pemberontakan berdarah, membunuh enam jenderal dan satu perwira pertama di Jakarta, membunuh dua perwira menengah di Yogyakarta. Inilah sembilan orang anggota TNI korban G30S/PKI yang sekarang namanya diabadikan sebagai nama jalan di pelbagai kota di Indonesia.
- PKI lebih kejam karena ideologi mereka menurut yang dilihat saat itu menyebabkan anggota dan simpatisannya enggan shalat. Di Bogor bila ada mahasiswa shalat, sudah umum simpatisan komunis meledeknya "Mahasiswa kok shalat?". Apa jadinya bentuk masyarakat 30 tahun setelah 1965 bila PKI berjaya?
- Jika PKI berjaya sampai sekarang, khawatir juga kejadian di Xinjiang China terjadi di Indonesia. Bayangkan Muslim di Xinjiang China pada bulan Ramadhan lalu dilarang berpuasa, ulama dan murid sekolah dilarang melakukan kegiatan keagamaan.
Jawaban 'Kelompok' 2 :
- KMP lebih kejam dari PKI karena membunuh hak rakyat untuk memilih calon pemimpinnya. Tentu maksudnya terkait dengan UU Pilkada yang heboh, menyetujui pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD daripada dipilih langsung oleh rakyat.
Politik memang kejam dan berpihak. Persoalan pilihan berdemokrasi pun ketika merasa tak sependapat pihak lawan disebut anti demokrasi, disebut mau menang sendiri, disebut kejam, tanpa mau melihat sisi baiknya.
Stop Diskusi Ini!
Seorang teman yang arif bijaksana mengirim pesan: "Sebaiknya diskusi ini kita stop, ekses pemburuan PKI tahun 1965-1966 menyebabkan banyak orang tak berdosa menjadi korban, banyak anak-anak dan cucu anggota PKI yang terkena getah setelah ada kebijakan bersih lingkungan". Kemudian si teman ini menambahkan coba baca buku yang dulu dilarang beredar di Indonesia 'Tragedy Indonesia', supaya kita tidak gampang menghakimi G30S/PKI.
Saya coba baca artikel Chicago Journals berjudul Uncovering the Trauma of Indonesia's Cold War Killing Fields. Artikel tentang film dokumenter karya Robert Lemeson dan kawan kawan, berjudul 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy. Berikut ini beberapa kutipan pendapat sudut pandang orang asing:
- “An estimated 500,000 to 1,000,000 people were killed in Indonesia between October 1965 and April 1966. It is one of the largest unrecognized mass killings of the 20th century.”.
- The film focuses on four families who suffered the bloody purges that seamed the lengthy regimes of Indonesia’s first and second presidents, Sukarno (1945–67) and Suharto (1967–98).
- The film intersperses archival footage and testimonials by survivors in Java and Bali with background statements by four academic historians and the anthropologist filmmaker.
- Every Indonesian who grew up during the Suharto period has viewed a state-produced documentary film that was shown annually in Indonesian public schools. The grizzly propaganda film is titled “Pengkhianatan G30S/PKI,” an abbreviation that roughly translates as “the treasonous September 30th movement by the Indonesian Communist Party.”
- These unlucky individuals, including Hindu Balinese, ethnic Chinese Christians, and Javanese Muslims, still live with intolerable anger or stigma. Most haunting is the film’s depiction of a boy named Budi, raised in an orphanage, who experiences depression and anger for years after his family members were attacked, tortured, and persecuted.
Anak-anak orang yang terlibat PKI tahun 1965-1966 pastilah banyak yang menderita lahir batin dan dendam pada keadaan masa itu dan terutama pada Pemerintahan Suharto. Banyaknya orang yang belum tentu berdosa ditangkapi dan dipenjara tanpa diadili, bahkan dibunuh. Berapa banyak orang kelas menengah yang terlibat PKI diasingkan ke Pulau Buru, walaupun akhirnya mulai tahun 1979 tahanan politik golongan B itu secara bertahap dibebaskan.
Namun jangan lupa juga tak sedikit orang dibuat menderita oleh PKI ketika ia jaya, coba saja tanya Taufik Ismail, tanya pada anak anak pahlawan revolusi. Saya pun sebagai anak kecil pernah menyaksikan kegarangan mereka saat mereka berpawai keliling kota Bogor sebelum peristiwa G30S/PKI meletus. Kader PKI teriak teriak "Manikebuuuuu .....", dijawab teman-temannya "Ganyaaaang".
Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober, masih diperingati secara resmi, artinya peristiwa G30S/PKI tidak dilupakan begitu saja, walaupun hukuman dosa turunan berupa kebijakan bersih lingkungan sudah lama ditiadakan. Rekonsiliasi jalan paling baik atau paling tidak tak usah saling ungkit lagi peristiwa pahit 49 tahun lalu, tidak bersikap provokatif mengumumkan aku bangga sebagai anak PKI, menyelenggarakan temu kangen anggota/simpatisan yang memancing kemarahan orang dan seterusnya.
Stop diskusi dan debat he .. he .. he... Saya sendiri berharap ideologi komunis tak perlu dihidupkan lagilah, sudah usang. Tap MPR yang melarang keberadaan komunis atau PKI di Indonesia juga tak perlu dicabut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H