[caption id="attachment_366184" align="aligncenter" width="567" caption="Singapore Airlines / Dok. wikimedia"][/caption]
Gara-gara Tiket Two In One
Penerbangan murah di Indonesia mulai marak pada akhir 1990-an atau awal 2000-an, bukan hanya penerbangan dalam negeri, tetapi juga penerbangan ke luar negeri ramai ramai banting harga.
Pada tahun 2004 saya berdua dengan teman sekantor, sebut saja mas Sidik ditugaskan mengikuti pelatihan Sistem Manajemen di Singapura. Kami minta sekretaris di kantor memesan tiket Singapore Airlines (SQ), kami memilih SQ karena saat itu SQ untuk rute Jakarta-Singapura pergi pulang menggunakan pesawat berbadan lebar, sekelas Boeing 777 atau pesawat yang sedikit lebih kecil Boeing 757, sedangkan Garuda menggunakan Boeing 737. Pilihan pesawat besar itu berkaitan dengan trauma saya terguncang di udara yang bergolak di atas Laut Tiongkok Selatan (saat itu masih disebut Laut Cina Selatan) pada penerbangan Singapura - Jakarta tahun 2003 saat menggunakan pesawat Boeing 737. Singkat cerita saya dan mas Sidik sudah memegang tiket masing-masing dan mas Sidik bilang setelah pelatihan ia akan tinggal di Singapura dua atau tiga hari lagi untuk berlibur, istri dan anaknya akan menyusul.
Pada hari H keberangkatan ke Singapura, di Terminal II Bandara Sukarno-Hatta, saya yang datang lebih awal ke bandara melakukan check in di konter SQ, namun ditolak, alasannya tunggu temannya karena tiket yang dibeli tiket promo two in one. Artinya pemegang dua tiket promo two in one harus pergi bersama-sama, salah satu batal terbang dengan alasan apapun, maka kedua tiket hangus, tidak berlaku.
Waduh terkejut sekali saya diberitahu aturan seperti itu, sekretaris di kantor tak memberitahu pula adanya aturan main seperti ini. Tak berapa lama kemudian mas Sidik datang, kami check in sambil memperlihatkan kedua tiket kami. Beres, saya berdua teman saya bisa terbang ke Singapura hari itu.
Problem sesungguhnya tengah menghadang kami. Istri dan anak mas Sidik akan menyusul terbang ke Singapura tiga hari lagi, naik Lion melalui Batam, dari Batam ke Singapura menyeberang naik feri, kepala cabang kantor kami di Batam akan membantu mengurus penyeberangan Batam (Batam Center) - Singapura (Harbourfront).
Pada hari terakhir pelatihan saya dan mas Sidik ke kantor SQ yang letaknya satu gedung dengan tempat kami mengikuti pelatihan di sekitar Tanjong Pagar. Kami minta dispensasi agar kami bisa pulang sendiri-sendiri ke Jakarta walaupun kami memegang tiket two in one, SQ menolak karena begitulah peraturannya.
Dengan sedih kami menuju kawasan Orchard Road mencari tiket Singapura - Jakarta yang lebih murah harganya daripada SQ, tapi syaratnya pesawat yang digunakan harus lebih besar dari Boeing 737, saya masih trauma naik pesawat berbadan kecil. Bapak-bapak orang India yang melayani kami berhasil mencarikan satu tiket KLM tujuan Jakarta dan pesawat yang digunakan tentu berbadan lebar, karena pesawat KLM tersebut adalah Boeing 747 yang melayani rute Amsterdam - Jakarta via Singapura.
Esok harinya saya pulang sendiri ke Jakarta naik KLM, sedangkan mas Sidik pergi menjemput isteri dan anaknya yang diantar teman kami dari Batam di pelabuhan feri Harbourfront, Singapura.
Akibat keteledoran ini mas Sidik harus mengeluarkan uang pribadi untuk membayari tiket KLM saya dan tiket untuk dirinya sendiri pulang ke Jakarta seusai berlibur dengan anak istrinya. Dua tiket murah two in one Singapore Airlines yang dibelikan kantor tepaksa dibuang, hangus tak berlaku!