Mohon tunggu...
Mochamad Rizky Hendiperdana
Mochamad Rizky Hendiperdana Mohon Tunggu... Dokter - Residen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Universitas Indonesia

twitter dan IG : @Hendiperdana Email : mhendiperdana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Permintaan Pembuatan Visum

3 Januari 2013   23:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:33 27138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rujukan :

üPasal 133 ayat 1 dan 2 KUHAP

üPasal 184 KUHAP

Mungkin istilah visum sudah tidak asing lagi di telinga kita. Istilah visum atau lengkapnya Visum et Repertum ( VR)  lazimnya adalah sebuah surat yang secara resmi dikeluarkan oleh pihak tenaga ahli ( yang dalam hal ini dokter forensik atau dokter)  perihal pemeriksaan yang dilakukan terhadap luka-luka atau jenazah untuk kepentingan hukum. Jadi surat VR ini memiliki kekuatan hukum di depan pengadilan untuk memperkuat sebuah bukti dalam perkara pidana, misalnya penganiayaan. Di dalam surat VR ini nanti akan tercantum sebuah kesimpulan yang mendeskripsikan bentuk, jenis , beratnya sebuah luka dalam kasus kekerasan misalnya.

Tulisan ini akan berfokus pada masalah prosedur permintaan VR karena kasus tindak pidana yang harus diketahui masyarakat perihal langkah-langkahnya. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui langkah-langkah dalam prosedur permintaan VR.

Penulis ingin berbagi sedikit kisah yang dialami saat bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah Rumah Sakit (RS) swasta di Bandung. Suatu sore ada orang tua yang datang membawa anaknya dengan keluhan sendi mulut yang tidak bisa digerakkan yang pada akhirnya dia tidak bisa membuka mulut. Menurut orang tuanya, anaknya adalah korban kekerasan seorang temannya di sekolahnya. Anaknya adalah korban pemukulan karena masalah pribadi dengan pelaku. Orang tua tersebut sangat panic dan marah sehingga niatnya untuk membawa perkara ini ke polisi sangat besar. Saking paniknya orang tua tersebut mereka langsung meminta pembuatan VR pada pihak RS saat itu dokter IGD tanpa surat permintaan dari pihak kepolisian.

Kami saat itu sangat mengerti kepanikan dan kemarahan yang dialami oleh keluarga korban untuk menuntut pelaku tindak kekerasan tersebut. Keluarga korban ingin segera pihak RS (dokter) mengeluarkan VR terhadap luka-luka korban dan VR tersebut akan digunakan sebagai barang bukti upaya penuntutan terhadap tindak pidana kekerasan yang terjadi. Di samping itu ada prosedur paten yang harus dipatuhi dalam rangkaian pengeluaran surat VR terhadap seorang korban. Oleh karena itu kami sangat melakukan pendekatan dan penjelasan yang sehalus mungkin pada keluarga korban tentang langkah atau prosedur dalam permintaan VR dari dokter. Akhirya setelah menjelaskan secara detil tentang prosedur tersebut, orang tua korban mengerti dan mengikuti prosedur yang berlaku.

Ternyata hal ini bukan terjadi pada orang tua korban yang disebut di atas. Masih banyak masyarakat yang meminta langsung VR ke dokter terhadap luka-luka yang terjadi akibat tindak kekerasan tanpa melapor dulu ke pihak kepolisian. Perlu diketahui di sini RS/ dokter tidak memiliki wewenang dalam mempertimbangkan suatu keadaan pasien kea rah tindak pidana. Karena kewajiban tenaga medis hanya menangani keadaan gawat darurat (jika tindak kekerasan) dan menangani keadaan pasien secara medis sampai tuntas. Jika ternyata keadaan/ penyakit yang diderita pasien adalah suatu hasil dari tindak pidana baik kekerasan atau apapun, disitulah wewenang pihak kepolisian yang meminta sebuah VR terhadap RS/dokter terhadap dugaan adanya tidak pidana tersebut. Dengan kata lain seorang pasien yang berobat dalam keadaan luka-luka, cedera atau apapun yang merugikan ke dokter statusnya adalah pasien. Tanpa memandang adanya unsur pidana. Tetapi jika pasien luka-luka karena tindak kekerasan tersebut sudah melapor kepada pihak kepolisian statusnya akan berubah menjadi korban/ barang bukti yang oleh karenanya dokter harus memeriksa perlukaan tersebut berdasar kaidah keilmuannya dan membuat surat VR guna kepentingan penyidikan kepolisian.

Dalam pasal 133 KUHAP berbunyi :

Ayat (1)           Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,                 keracunan ataupun mati diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterengan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Ayat (2)           Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Dari pasal 133 ayat 1 dan 2 KUHAP tersebut dokter berperan sebagai tenaga ahli yang diminta keterangan berdasarkan keilmuan yang dimiliki terhadap luka-luka akibat tindak pidana untuk memudahkan proses penyidikan dan sebagai alat bukti di depan hakim di pengadilan.

Oleh karena itu dalam artikel ini penulis ingin menekankan terhadap pasal 133 KUHAP tersebut. Masyarakat dapat memahami prosedur permintaan VR yang telah diatur dalam UU tersebut. Dalam hal permintaan VR karena kasus tindak pidana kekerasan, korban atau keluarga korban harus melapor ke pihak kepolisian baik Polsek, Polres, Polda terhadap kekerasan yang dialami. Setelah itu pihak kepolisian atas laporan korban akan mengeluarkan surat permintaan pembuatan VR kepada pihak RS yang nantinya pemeriksaan korban dengan detil akan dilakukan disana. Setelah pemeriksaan korban atas permintaan pihak kepolisian nanti akan dikeluarkan surat resmi VR yang berisi deskripsi perlukaan yang mendetil dan kesimpulan yang mengungkapkan derajat luka yang dialami korban dalam menjalani pekerjaan atau jabatan.

Sebenarnya konteks VR tidak hanya terbatas pada korban hidup tetapi juga pada jenazah, tetapi dalam konteks kali ini penulis hanya membatasi pembahasan pada korban hidup atau yang disebut dengan forensik klinik.

Apa kepentingan Visum et Repertum (VR) ?

Dalam suatu perkara pidana, penyidik ( dalam hal ini polisi) akan mengumpulkan bukti-bukti yang memperkuat dan membuat terang suatu perkara pidana. Dalam hal mencari siapa pelaku dan membuktikan secara meyakinkan di depan hakim bahwa pelaku tersebut sudah melakukan tindak pidana. Surat VR yang dikeluarkan dokter/RS ini mempunyai nilai bukti yang sah di depan hakim.

Seperti bunyi pasal 184 KUHAP

Alat bukti yang sah ialah :

a)Keterangan saksi;

b)Keterangan ahli;

c)Surat;

d)Petunjuk;

e)Keterangan terdakwa

Berdasarkan pasal 184 KUHAP tersebut, VR bisa berperan menjadi keterangan ahli dan surat oleh karena itu memiliki nilai bukti yang kuat. Dalam hal memutuskan perkara pidana, hakim minimal harus memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Surat VR ini dapat menjadi salah satu dari dua alat bukti yang dibutuhkan tersebut.

Sekian artikel berbaginya, semoga artikel ini bisa sedikitnya memberikan pencerahan dan pemahaman baru untuk pembaca yang budiman tentang prosedur permintaan VR. Mohon maaf jika terdapat suatu kesalahan pengetikan atau penafsiran. Penulis hanya bermaksud berbagi.

Salam. Selamat pagi !

sumber gambar : http://www.invohealth.com/wp-content/uploads/2012/01/iStock_000013102333Small.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun