Pilpres 2014 telah memberi banyak pelajaran. Kalau sebelumnya Pemilu Pilpres ada lebih dari 2 calon pasangan, kali ini hanya ada 2 calon pasangan. Jadi memang benar-benar terbelah pendukungnya. Persaingan menjadi langsung berhadapan: Prabowo – Hatta disatu sisi dan Jokowi – Kalla, di sisi yang lain. Seru karena berhadapan dan lawannya seimbang. Sulit sekali sebelumnya menentukan siapa yang akan menang. Apalagi kubu masing-masing pun mendapat dukungan yang sama kuatnya. Sungguh pertarungan yang melelahkan.
Pasca Pemilu dan pengumuman KPU dan dilanjutkan dengan sidang Mahkamah Konstitusi yang berakhir dengan pembacaan putusan pada Kamis (21/8/2014). Selama proses tersebut pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa telah mendewasakan publik. Hal itu dikatakan oleh pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati. "Prabowo-Hatta, melalui gugatan mereka, mengantarkan kita bangsa Indonesia pada proses demokrasi yang lebih lanjut yaitu sistem check and balance. Ini mendewasakan elite-elite politik bahwa dalam demokrasi itu tidak ada kekuasaan yang totaliter," katanya.
Jadi, pegiat politik dan publik juga tidak perlu heran jika usai keputusan MK, kasus ini akan terus bergulir. Hal ini harus dipahami sebagai bagian dari proses demokrasi. Perjuangan membutuhkan stamina dan keteguhan hati karena waktunya yang panjang dan jalannya yang berliku. Juga memeras otak mengatur strategi. Sabar juga menahan emosi, karena jebakan dan provokasi lawan.
Sekarang bukan masanya adu kekuatan fisik, tapi yang dibutuhkan adalah kecerdasan. Kalau kekuatan yang menjadi andalan, tentu akan menjadi bahan tertawaan. Jadi yang paling sabar lah yang akan memenangkan pertarungan. Karena penyelesaian perselisihan harus sesuai regulasi dan menghindari tindakan anarkis. Harus mengikuti rule of game. Gugatan Prabowo menunjukkan pada kita bahwa ada koridor hukum dan ada tata caranya untuk memperjuangkan kehendak politik. Tidak lagi main bentak gertak tapi otak.
Jadi, berbagai langkah hukum yang akan ditempuh kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dinilai hal yang wajar dalam proses berdemokrasi. Termasuk, gugatan hasil Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK). Toh, hingga detik ini amuk, chaos dan kekacauan yang dikhawatirkan alhmadulillah tidak terjadi. Mungkin provokator itu berhitung juga kalau melakukan tindakan destruktif, salah-salah bisa menjatuhkan jagoannya. Karena sekarang memang zamannya keterbukaan. Tak bisa lagi sembarang intimidasi.
"Apa yang kita lihat sekarang, adalah proses pembelajaran politik yang baik untuk ke depannya," ujar Pakar Hukum dari Universitas Indonesia M Fitra Arsil di Restoran Seribu Rasa, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2014).
Meski , Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan amar putusan atas sengketa hasil Pilpres 2014 yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Bukan menandai berakhirnya pertarungan. Tapi, justru merupakan gong pertanda ronde baru. Apabila MK tidak mengabulkan gugatan sengketa hasil Pilpres, maka kubu Prabowo Hatta akan menempuh sejumlah langkah hukum lainnya. "Kalau ini tidak disetujui, tentu tim akan berembuk merumuskan kebijakan upaya-upaya hukum lain yang akan ditempuh," ujar Anggota tim hukum Prabowo-Hatta, Dorel Almir.
Kendati demikian, kata dia, sebagai negara hukum seorang calon presiden memiliki hak konstitusi lain, selain menempuh jalur hukum ke MK. "Misalnya membawa perkara ke PTUN. Kemudian mengajukan judicial riview ke Mahkamah Agung. Itu hak-hak yang bisa digunakan. Kemudian juga putusan MK ini kan kita tidak melihat ada amarnya. Nanti juga ada pertimbangan-pertimbangannya," katanya.
"Dalam pertimbangan-pertimbangan itu, dilihat catatan-catatannya apa, menjadi catatan oleh majelis," tambah dia.
sejumlah catatan itu juga bisa menjadi dasar bagi partai koalisi Merah Putih untuk mereview dengan menggunakan hak politik, seperti pembentukan Pansus Pilpres 2014 dan sebagainya.
Jadi jangan mencemooh atau membangun opini diluar substansi. Misalnya: “Ayo dong cepat selesai Pilpresnya, rakyat sudah capek atau kapan kita harus membangun?” Justru dengan pengalaman gugatan inilah kita sebenarnya sedang membangun karakter bangsa. Sedang merevolusi mental. Yakni kalau berjuang jangan setengah-setengah, perjuangan harus total. Selama ini kita dininabobokan dengan ewuh pakewuh dan toleransi. Sayangnya pengertian toleransi itu disimpangkan, misalnya dari dulu pemilu ya memang seperti itu, curang. Jadi terima saja. Justru ini pengertian yang salah. Bagi petarung sejati, selama masih ada celah dan sah, maka dia akan manfaatkan celah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H