"Boleh aku masuk, Paman?" Saga meminta ijin. Setelah sebelumnya mengetuk sebuah pintu kayu bercat plitur murah milik penjaga makam.
 "Masuklah. Pintu tidak dikunci." Teriak pria tua dengan fisik pincang dari dalam rumah.
"Tidak biasanya kau datang ke sini, Saga. Apa ada yang bisa aku bantu?" Seki bertanya kemudian dilanjutkan mempersilahkan Saga untuk duduk di kursi ruang tamu dekat dapur.
"Apakah ini tentang ayahmu?" Seki membuang wajah ke luar jendela. Menatap satu nisan yang berada tidak jauh dari barisan nisan para tetua adat terdahulu nagari Cheduge.
Tangan Saga mengeluarkan sebuah buku kecil berwarna coklat dari kantong dalam bajunya. Hiasan depan buku itu berupa gambar kumbang dibuat dengan coretan tangan.
"Catalog of Ideas. Buku kecil yang Zola tulis sendiri." Seki langsung mengenali buku dan siapa yang menulisnya.
"Bisa paman jelaskan, mengapa ayah menulis buku ini sebelum perang suci ke-3?" Tanya Saga penuh harap.
"Aku tidak tahu. Hanya saja, ayahmu bukan tipe laki-laki tanpa alasan menulisnya."
"Apa ada pesan khusus ketika ayah meminta paman untuk mengantar buku ini kepada ibu?" Saga terus mengalirkan pertanyaan tanpa bermaksud untuk menginterogasi Seki.
"Tidak ada. Zola hanya menyebutkan bahwa ini adalah permintaan terakhir sebelum ia tewas di pertempuran. Maka aku menyanggupinya sebagai janji seorang sahabat." Cerita Seki.
"Maaf Saga. Aku turut berduka."