Seperti yang disampaikan oleh Misbah Hasan (2024), penambahan jumlah kementerian dan posisi eselon akan menyebabkan peningkatan belanja barang/jasa yang meliputi berbagai kebutuhan operasional kementerian. Ketika anggaran operasional membengkak, potensi inefisiensi dalam alokasi anggaran semakin besar.
Pemborosan anggaran ini bisa mengurangi ruang fiskal yang tersedia untuk mendanai proyek-proyek pembangunan dan pelayanan publik, sehingga berdampak pada berkurangnya alokasi anggaran untuk program-program yang langsung menyentuh masyarakat.
Kabinet Besar dan Risiko Pemborosan
Selain membengkaknya belanja pegawai, kabinet yang besar juga menghadirkan risiko pemborosan dan potensi miskoordinasi yang lebih tinggi. Semakin banyak kementerian yang ada, semakin kompleks pula sistem koordinasi antar kementerian yang harus dibangun.Â
Tanpa sistem yang terkoordinasi dengan baik, banyaknya kementerian dapat menyebabkan tumpang tindih kebijakan, proses pengambilan keputusan yang lamban, dan ketidakjelasan dalam pembagian tanggung jawab.
Deni Indrayana (2024) memperingatkan bahwa kabinet yang terlalu besar juga berpotensi meningkatkan risiko korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).Â
Dengan bertambahnya posisi-posisi eselon dan struktur birokrasi yang lebih kompleks, ruang untuk penyalahgunaan wewenang dan praktik-praktik koruptif semakin terbuka. Hal ini tentu menjadi ancaman serius terhadap tata kelola pemerintahan yang baik, terutama dalam konteks penggunaan anggaran negara.
Selain itu, perlu diakui bahwa pembesaran kabinet tidak serta-merta menjamin kinerja yang lebih baik. Argumentasi bahwa kabinet yang lebih besar akan lebih fokus dan spesifik dalam menangani berbagai isu nasional perlu dikaji lebih dalam.Â
Dengan banyaknya kementerian, justru ada potensi konflik kebijakan antar sektor yang dapat menghambat pelaksanaan program-program pemerintah. Ketika birokrasi menjadi terlalu rumit, efisiensi dan efektivitas dalam pemerintahan bisa menurun.
Salah satu konsekuensi terbesar dari pembengkakan anggaran kabinet adalah "uang banyak untuk orang sedikit" dan "uang sedikit untuk orang banyak". Dengan lain perkataan, uang yang dihabiskan untuk membiayai struktur kabinet yang besar berarti, "uang banyak untuk orang sedikit," sementara "uang sedikit untuk orang banyak", berarti berkurangnya anggaran yang bisa dialokasikan untuk kepentingan masyarakat luas
Dalam situasi di mana belanja pegawai dan barang/jasa menyedot sebagian besar anggaran, ruang untuk belanja modal dan pengeluaran yang berkaitan langsung dengan kebutuhan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, semakin terbatas.Â
Situasi ini menciptakan dilema anggaran, di mana pemerintah harus memilih antara mempertahankan struktur kabinet yang gemuk dengan segala konsekuensi anggaran yang menyertainya, atau melakukan rasionalisasi agar anggaran publik bisa lebih difokuskan pada pelayanan masyarakat.Â