Pembengkakan Kabinet: Uang Banyak untuk Orang Sedikit dan Uang Sedikit untuk Orang Banyak
Pelantikan Kabinet Merah Putih oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada Senin (21/10/2024) menjadi sorotan publik karena jumlah kementerian yang melonjak drastis dibandingkan pemerintahan sebelumnya.
Presiden Prabowo melantik 48 menteri dan 56 wakil menteri, menjadikan total 109 pejabat dalam kabinet, jauh lebih banyak dari kabinet era Jokowi yang hanya terdiri dari 34 menteri. Jumlah ini menciptakan berbagai diskusi, terutama terkait implikasi anggaran yang akan membengkak.
Kenaikan jumlah kementerian secara signifikan tentu tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi peningkatan biaya operasional, khususnya belanja pegawai pemerintah pusat.
Sejumlah pengamat dan ekonom memperkirakan bahwa penambahan menteri dan wakil menteri akan menambah jumlah posisi eselon di pemerintahan, yang pada akhirnya meningkatkan beban anggaran untuk gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah kabinet yang “gemuk” ini akan memberikan manfaat yang setara dengan biaya yang dikeluarkan atau justru menciptakan beban anggaran yang tidak seimbang.
Salah satu kekhawatiran utama yang mencuat akibat pembengkakan kabinet adalah meningkatnya anggaran belanja pegawai. Pada APBN 2025, belanja pegawai diproyeksikan mencapai Rp 513,2 triliun, atau 19,1 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Sementara itu, belanja barang ditetapkan Rp 342,6 triliun, atau 12,7 persen. Estimasi ini diperkirakan akan melonjak sekitar 20 hingga 30 persen karena penambahan kementerian baru dan posisi eselon yang semakin banyak.
Dalam struktur birokrasi pemerintah, setiap kementerian biasanya dilengkapi dengan staf dan pegawai yang memiliki berbagai tingkatan jabatan.
Seiring dengan bertambahnya kementerian, jumlah pegawai pun akan bertambah, termasuk kebutuhan akan tunjangan kinerja, tunjangan jabatan, dan berbagai fasilitas lain seperti kendaraan dinas, rumah dinas, serta biaya perjalanan dinas.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa anggaran yang seharusnya digunakan untuk program-program prioritas masyarakat malah akan terserap oleh belanja pegawai yang bersifat administratif.