Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Transisi Kepemimpinan Indonesia: Menyelaraskan Kebijakan Lama dan Inisiatif Baru

13 Oktober 2024   15:22 Diperbarui: 13 Oktober 2024   15:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dok. Kementerian Pertahanan/Via Kompas.com

Transisi Kepemimpinan Indonesia: Menyelaraskan Kebijakan Lama dan Inisiatif Baru

Indonesia akan segera memasuki fase penting dalam politik nasional dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, pada 20 Oktober 2024. Dalam transisi pemerintahan, selain menandai pergantian kepemimpinan, juga membuka lembaran baru dalam tata kelola kebijakan nasional, dan menjadi cerminan dinamika politik dalam negeri yang terus berkembang.

Proses ini diharapkan mampu memberikan arah baru menuju Indonesia emas, sekaligus menjadi momen untuk menilai kembali pencapaian sebelumnya. Tantangan utama bagi pemerintahan baru adalah menyelaraskan program-program yang telah berjalan dengan rencana kebijakan baru yang lebih progresif, guna mewujudkan pemerintahan yang efisien dan adaptif terhadap perubahan.

Dengan demikian, di tengah perubahan ini, salah satu tantangan terbesar adalah menjaga kesinambungan program-program yang telah berjalan selama masa kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), yang kemudian menjadi landasan yang kuat bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam menghadirkan tata kelola yang responsif dan proaktif di semua bidang dalam menghadapi tantangan pembangunan ke depan.

Kilas Balik Capaian Kepemerintahan Jokowi 2 Periode

Lembaga survei Indikator Politik mencatat sekitar 75 persen masyarakat Indonesia puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang akhir masa jabatannya.  Menurut Prof. Burhanudin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, data survei yang dilakukan mencakup tren kepuasan publik sejak era Presiden Megawati hingga pemerintahan Jokowi.

Secara khusus, data menunjukkan bahwa tingkat kepuasan terhadap Jokowi lebih tinggi di periode kedua dibandingkan periode pertama.  Pada periode pertama, tingkat kepuasan sempat mengalami penurunan tajam hingga 40-an persen pada Juni 2015, akibat inflasi yang mencapai 7,3 persen setelah kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, Jokowi segera memulihkan keadaan dengan mengalihkan dana subsidi ke proyek infrastruktur dan bantuan sosial, sehingga tingkat kepuasan kembali meningkat.

Selama dua bulan terakhir sebelum survei dilakukan pada September 2024, tingkat kepuasan terhadap Presiden Jokowi mengalami penurunan dari 82 persen menjadi 75 persen, atau turun 7 persen. Prof. Burhan menyebutkan dua faktor utama yang memengaruhi penurunan ini, yakni 1) Sentimen Negatif terhadap Kondisi Ekonomi, dimana Masyarakat merasakan dampak deflasi yang berujung pada penurunan daya beli. 2) Aksi Kawal MK: Aksi ini terkait respons publik terhadap inisiatif pemerintah dan DPR untuk membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang Pilkada, yang menimbulkan ketidakpuasan.

Hasil survei juga menunjukkan aspek-aspek yang paling diapresiasi dan yang dianggap kurang oleh masyarakat. Aspek positif yang diapresiasi oleh masyarakat meliputi: 1)Pengendalian Inflasi: Kebijakan Jokowi dalam menjaga inflasi rendah diapresiasi oleh masyarakat. 2)Infrastruktur dan Transportasi Umum: Pembangunan infrastruktur yang masif serta perbaikan transportasi publik mendapatkan apresiasi tinggi. 3) Pelayanan Kesehatan: Program-program kesehatan yang diterapkan pemerintah mendapat tanggapan positif.

Sedangkan Aspek negatif yang dianggap kuran oleh masyarakat meliputi: 1) Pemberantasan Korupsi: Kurang dari 50 persen masyarakat menilai upaya pemerintah dalam memerangi korupsi sebagai baik. 2) Penyediaan Lapangan Kerja: Hanya 44 persen responden yang menyatakan bahwa pemerintah berhasil menciptakan lapangan kerja. 3) Pengurangan Pengangguran: Hanya 39 persen masyarakat yang mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran.

Hasil survei juga menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan publik diantaranya, Inflasi yang rendah selama pemerintahan Jokowi dianggap sebagai faktor kunci dalam menjaga kepuasan publik. Meski demikian, keberhasilan dalam mengendalikan inflasi tidak cukup untuk menutupi berbagai tantangan lain, seperti pemberantasan korupsi, penegakan demokrasi, dan penyediaan lapangan kerja. Tingkat ketidakpuasan ini semakin terasa di penghujung masa jabatan Jokowi, ketika angka pengangguran meningkat akibat pertumbuhan lapangan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja.

Catatan dan Tantangan bagi Pemerintahan Selanjutnya

Berdasarkan temuan survei, maka tantangan utama bagi presiden terpilih berikutnya, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, antara lain adalah 1) Meningkatkan Pemberantasan Korupsi: Pemerintah perlu memperkuat upaya memerangi korupsi untuk meningkatkan kepercayaan publik. 2) Memperbaiki Penegakan Demokrasi: Demokrasi yang dianggap menurun perlu diperbaiki agar tercipta iklim politik yang lebih baik. 3) Mengatasi Pengangguran dan Menciptakan Lapangan Kerja: Penciptaan lapangan kerja yang memadai menjadi prioritas untuk mengurangi angka pengangguran.

Dengan demikian, transisi pemerintahan ke Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan dihadapkan tiga tantangan penting yang membutuhkan perhatian serius.

Upaya pemberantasan korupsi menjadi salah satu tuntutan yang paling mendesak. Hanya kurang dari 50 persen masyarakat menilai kinerja pemerintah dalam memerangi korupsi sebagai baik, menunjukkan adanya ketidakpuasan publik terhadap pendekatan pemerintah sebelumnya. 

Prabowo dan Gibran diharapkan dapat mengambil langkah-langkah lebih tegas dalam memperkuat lembaga antikorupsi dan mendorong reformasi sistem hukum yang lebih transparan dan akuntabel. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, serta dukungan pada whistleblowers, bisa menjadi elemen penting untuk memperkuat integritas birokrasi.

Penurunan kualitas demokrasi di Indonesia juga menjadi sorotan. Kritik terhadap demokrasi Indonesia mencakup pembatasan kebebasan berekspresi dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Di bawah pemerintahan baru, diperlukan komitmen kuat untuk memperbaiki iklim politik agar lebih inklusif dan responsif terhadap aspirasi publik. Reformasi dalam sistem pemilu serta peningkatan partisipasi politik yang lebih luas akan menjadi langkah krusial dalam mewujudkan demokrasi yang lebih sehat dan bermartabat.

Pemerintahan baru juga dihadapkan pada masalah ketenagakerjaan yang krusial. Meningkatnya angka pengangguran menjadi indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya inklusif dan belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai. 

Untuk mengatasi masalah ini, kebijakan ekonomi yang berorientasi pada peningkatan keterampilan tenaga kerja harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu merancang program pelatihan dan sertifikasi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja modern, sekaligus mendorong sektor-sektor industri kreatif dan teknologi yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja.

Ketiga tantangan tersebut akan menjadi uji coba awal bagi Prabowo dan Gibran dalam mengukur efektivitas pemerintahan mereka. Kesuksesan dalam mengatasi masalah-masalah ini akan berkontribusi pada peningkatan kepercayaan publik dan penguatan stabilitas politik di Indonesia.

Membangun Kebijakan Akomodatif: Kolaborasi sebagai Kunci

Salah satu kunci keberhasilan pemerintahan Prabowo-Gibran terletak pada kemampuan mereka untuk membangun kebijakan akomodatif yang melibatkan berbagai kelompok dan pemangku kepentingan. Politik akomodatif dapat menjadi strategi yang efektif bagi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini.

Melalui politik akomodatif ini, maka pemerintah perlu bekerja sama dengan semua lembaga, dunia usaha, dan masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan publik. Kolaborasi dan komunikasi yang efektif antara pusat dan daerah misalnya, juga akan membantu mempercepat pembangunan, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Namun, dalam prosesnya, penting bagi pemerintahan baru untuk memastikan bahwa politik akomodatif tidak dijadikan sarana untuk melakukan kartelisasi kekuasaan atau bagi-bagi jabatan. Meski kolaborasi dan politik akomodatif dapat memperkaya kebijakan, ada risiko jika politik akomodatif digunakan secara keliru. 

Kartelisasi kekuasaan dan praktik bagi-bagi jabatan dapat muncul jika politik akomodatif dimanfaatkan untuk mempertahankan dukungan politik melalui pemberian posisi strategis kepada pihak-pihak tertentu tanpa mempertimbangkan kompetensi. Praktik semacam ini justru berpotensi merusak integritas pemerintah dan mengurangi efektivitas kebijakan yang dihasilkan, karena pejabat yang diangkat mungkin lebih loyal pada kepentingan kelompok daripada kepentingan publik.

Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu menegaskan bahwa pendekatan akomodatif yang mereka terapkan tidak akan mengorbankan prinsip meritokrasi. Pengisian jabatan publik dan peran strategis dalam pemerintahan harus tetap berlandaskan pada kompetensi dan integritas, bukan berdasarkan negosiasi politik semata. Reformasi birokrasi juga harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dapat dieksekusi secara efektif oleh aparatur yang profesional dan berkinerja tinggi.

Dengan mengedepankan politik akomodatif yang sehat dan kolaboratif, tanpa terjebak pada praktik kartelisasi, pemerintahan Prabowo-Gibran dapat menghadirkan tata kelola yang lebih responsif dan proaktif dalam menghadapi tantangan pembangunan di masa depan.

Kesimpulan

Transisi pemerintahan merupakan momen penting bagi Indonesia untuk menata kembali arah kebijakan dan memperkuat tata kelola pemerintahan. Pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki peluang besar untuk memperbaiki kekurangan yang ada dan memperkuat capaian positif pemerintahan sebelumnya.

Dengan menyelaraskan kebijakan lama dan baru, serta memperkuat kolaborasi lintas sektor, pemerintah baru diharapkan mampu menghadirkan tata kelola yang lebih responsif, inklusif, dan adaptif terhadap perubahan.

Tantangan ke depan bukan hanya tentang menghadirkan kebijakan yang relevan, tetapi juga memastikan bahwa setiap kebijakan dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan. 

Kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, penguatan demokrasi, dan penciptaan lapangan kerja yang memadai menjadi prioritas utama dalam periode pemerintahan baru ini. Transisi pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan dapat membangun landasan yang kuat untuk menghadapi tantangan pembangunan di masa depan, sekaligus mewujudkan visi Indonesia emas yang lebih maju dan berkeadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun